Kamis 10 Sep 2015 01:00 WIB

Perjalanan tak Terlupakan ke San Siro dan Olimpico

Duomo di Milano terlihat di ujung.
Foto:
Pelataran Masjid Agung Roma.

Olimpico

Jam sudah menunjukkan pukul 19.15, sekarang gantian pak sopir yang berasal dari Lembang, Bandung, dan sudah 25 tahun berada di Roma tersebut menawarkan kepada saya untuk melihat Olimpico, stadion yang menjadi kandang AS Roma dan Lazio. “Daripada penasaran dan belum tentu bisa kembali ke sini, saya antar sebentar melihat stadion Olimpico ya,” katanya.

Tawaran itu tentu saja saja terima dengan senang hati. Rupanya, pertanyaan saya ketika masih di Vatikan masih diingat sang bapak. Ketika itu, saya bertanya, “Apakah lokasi Olimpico jauh dari Vatikan?” Dijawab, “Cukup jauh karena Olimpico terletak di pinggiran Roma”.

Kami yang berada di mobil pertama, tiba-tiba putar jalan. Mobil kedua akhirnya mengikuti. Grup WhatsApp tiba-tiba ramai, bertanya mau ke mana lagi, lantaran jadwal ke stasiun sudah mepet. Dengan kecepatan penuh, tidak sampai 15 menit, kami sampai di pintu luar Olimpico. Di Italia, hanya San Siro dan Juventus Stadium yang memiliki museum yang dibuka untuk wisatawan setiap harinya.

Karena Olimpico tidak memiliki museum klub, stadion ini hanya dibuka ketika ada jadwal pertandingan. Meski hanya berada di luar pagar nomor 15 distinti nord est, saya tampak puas bisa berfoto dengan latar belakang Olimpico. Baru sekitar dua menit, rekan-rekan sudah gaduh memanggil untuk mengingatkan agar segera kembali ke mobil.

Sudah dapat foto yang dinanti, akhirnya rombongan melaju cepat menyusuri highway Roma. Dalam hati, saya bergumam seolah kejadian tadi mimpi yang menjadi nyata. Bisa mengunjungi San Siro dan Olimpico merupakan sebuah momen yang bakal tak terlupakan seumur hidup. Pasalnya, sebagai generasi 90-an yang menggemari Serie A Liga Italia, dulu ketika kecil saya hanya bisa memandangi dua stadion tersebut melalui layar televisi. Sekarang, saya bisa melihatnya langsung.

Usai dari Olimpico, kami semua sempat deg-degan lantaran jam sudah menunjukkan pukul 20.00, dan stasiun masih belum terlihat. Beruntung, tiga menit kemudian kami sampai di pintu utama Roma Termini. Kami langsung masuk stasiun, dan pak sopir memarkir kendaraan. Beruntung, kereta yang kami tumpangi belum datang. Akhirnya, kami masih bisa duduk santai-santai dan membeli roti croissant untuk menyiasati perut yang mulai keroncongan.

Akhirnya, kereta tiba pukul 20.30, dan berangkat pukul 20.40, tepat ketika malam mulai datang. Karena kelelahan, saya sempat tertidur, meski berusaha untuk tetap melihat pemandangan kiri kanan kereta. Uniknya, kereta tiba tepat waktu di Milano Centrale pukul 23.45. Kami dijemput sang sopir untuk kembali ke hotel, sebelum besoknya menuju Bandara Malpensa untuk pulang ke Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement