REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama satu dekade terakhir, gerakan body positivity telah berkembang. Positivisme tubuh itu mendorong orang-orang mencintai diri dan bentuk tubuh mereka apa adanya, tidak berpatokan pada anggapan bahwa tubuh langsing adalah sesuatu yang ideal.
Akan tetapi, body positivity bisa menjadi salah kaprah. Khususnya, bagi pemilik tubuh berukuran ekstra yang memegang prinsip antidiet, dan bersikeras tak mau mencapai berat badan sehat atas nama cinta diri. Terlebih, obesitas telah menjadi masalah global.
Personal trainer asal Inggris, James Smith, sepakat pada gagasan body positivity, bahwa tiap orang punya bentuk tubuh beragam dan perlu menerima tubuh alami itu sebagaimana adanya. Dia pun menentang jika setiap orang harus memiliki bentuk tubuh serupa.
Namun, Smith juga menyampaikan potensi body positivity menjadi disalahpahami. "Kita tidak boleh menganggap 'ini sehat' pada orang yang mengalami obesitas, terlepas dari bagaimana perasaan mereka terhadap hal itu," kata Smith.
Alasannya, secara objektif, obesitas memang bukan hal yang sehat. Sebagai masyarakat, kita tidak boleh mempermalukan orang tersebut, tapi juga tidak boleh membuat orang itu seolah menganggap kondisi yang dia alami adalah hal normal yang baik-baik saja.
Penulis buku Fattily Ever After, Stephanie Yeboah, menyampaikan bahwa inti dari gerakan positivisme tubuh dan penerimaan lemak adalah terjadinya percakapan seputar rasa hormat dan penerimaan. Yeboah adalah pendukung gerakan cinta diri. Dia yakin banyak orang berukuran tubuh ekstra takut berolahraga di depan umum karena merasa malu.
"Saya pikir, sebagian besar orang cenderung menyamarkan fobia lemak sebagai masalah kesehatan," ujar Yeboah, dikutip dari laman Business Insider, Senin (5/2/2024).
Bisakah seseorang menjadi obesitas sekaligus sehat? Faktanya, metaanalisis terhadap 72 penelitian menyimpulkan bahwa tumpukan lemak perut dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Obesitas juga dikaitkan dengan kualitas hidup yang lebih rendah terkait kesehatan.
Dokter pengobatan kardio-metabolik Amerika Serikat, Spencer Nadolsky, mengatakan bahwa seseorang disebut sehat secara metabolik jika mereka tidak memiliki komponen "sindrom metabolik". Nadolsky mengambil spesialisasi dalam bidang obesitas dan lipidologi.
Tidak memiliki komponen "sindrom metabolik" artinya kadar kolesterol HDL atau kolesterol baiknya seimbang, tidak terjadi peningkatan trigliserida, tidak ada peningkatan lingkar pinggang, tidak ada peningkatan tekanan darah, dan tidak ada peningkatan kadar glukosa darah puasa. Namun, semua hal itu tidak mudah dilakukan bagi pengidap obesitas.
"Secara umum, obesitas menempatkan seseorang pada risiko kesehatan yang lebih tinggi. Jika Anda obesitas dan bugar dan tidak memiliki kelainan metabolisme, mungkin masih memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan seseorang yang tidak mengalami obesitas dan juga bugar," kata Nadolsky.
Penyebab obesitas sangat kompleks, melibatkan gaya hidup, genetika, kondisi medis, status sosial ekonomi, dan pendidikan. Hal-hal yang menyebabkan obesitas juga menyebabkan penyakit, bukan obesitas itu sendiri yang menyebabkan penyakit.
Menurut personal trainer Luke Worthington, tidak membicarakan soal penurunan berat badan sama sekali merupakan hal yang kurang tepat. Ada baiknya para praktisi kesehatan mengedukasi masyarakat tentang cara mengupayakannya dengan aman dan sehat. Dia juga mengingatkan untuk membedakan "cinta diri" yang sejati dan semu.
"Mencintai diri sendiri adalah menjaga diri Anda tetap sehat, bukan membiarkan diri mengalami kelebihan berat badan atau menjadi terlalu kurus sehingga membahayakan kesehatan. Tidak mengatasi masalah-masalah ekstrem bukanlah cinta diri, melainkan pengabaian diri," ungkap Worthington.