Senin 08 Jul 2019 07:46 WIB

Budaya Pop Jepang, Digemari dan Lekat di Hati

Jepang dan Indonesia memiliki kesamaan dalam nilai-nilai ketimuran.

Festival Kenka Matsuri di Himeji, Jepang.
Foto: Antara/Ujang Zaelani
Festival Budaya Jepang (ilustrasi)

Assistant Program Officer Culture Division Japan Foundation, Isma Savitri ikut membagi pemikirannya mengenai budaya Jepang di Indonesia. Kultur pop Jepang mulai masuk dan dikenal di Indonesia pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, di mana kartun animasi (anime), drama Jepang (dorama) mulai ditayangkan di televisi lokal, dan komik (manga) masuk ke toko-toko buku.

Dan, budaya pop Jepang itu unik, ujarnya. Karakteristik komik dan ragam jenis animenya punya ciri khas yang tidak dimiliki yang lain.

"Ketertarikan dari keunikan tersebut lalu ditunjang dengan adanya majalah-majalah seputar dunia hiburan Jepang, seperti Animonster yang eksis di awal 2000-an dulu," ujar Vivi.

Pada tahun itu, kehadiran majalah dan tabloid tersebut menjadi angin segar bagi penggemar budaya pop Jepang. Kontennya pun eksklusif karena merupakan hasil terjemahan dari buku dan majalah yang didatangkan langsung dari Jepang.

Ketika era bergeser menjadi serba digital, penggemar Jejepangan memiliki akses tak terbatas terhadap kultur Jepang. Lewat Internet, mereka mengenal costume play (cosplay), gaya dan fashhion terkini, juga lagu-lagu berbagai genre seperti J-Pop, J-Rock, dan anisong.

photo
Arak-arakan kesenian tradisional Jepang, Dashi, menjadi pusat perhatian pengunjung acara Little Tokyo Ennichisai (Festival Jepang) di Blok M, Jakarta Selatan.

Setelah mengenal, mereka lalu jatuh hati, dan berlanjut menekuninya. "Kultur pop ini mampu membuat hobi bukan hanya sekadar hobi, tapi juga pengembangan diri. Misalnya cosplay. Seorang cosplayer harus bisa mengasah keterampilannya membuat kostum, riasan, hingga akting untuk tampil di atas panggung," kata Vivi.

Tak tergerus zaman

Di tengah budaya pop-nya yang semakin maju dan digemari banyak orang di berbagai belahan dunia, tidak membuat Jepang menyampingkan tradisinya. Terbukti dengan masih banyaknya warga Jepang yang mengenakan yukata pada saat festival musim panas, menghadiri upacara di kuil, atau sesederhana mengikuti upacara teh tradisional.

Diana mengatakan, Jepang memiliki kekhawatiran akar budayanya akan terlupakan atau punah suatu hari nanti, mengingat derasnya pengaruh teknologi yang berkembang pesat. Namun, pemerintah dan masyarakat terus berupaya menjaganya agar lestari.

"Misalnya perajin kipas. Pemerintah menjamin kehidupan mereka asalkan tetap terus membuat kipas handmade. Padahal kalau mau pakai mesin dengan kualitas yang sama pun bisa banget. Tapi itu tidak dilakukan," kata Diana.

Tak hanya itu, pemerintah Jepang juga mengupayakan agar budaya-budaya klasik itu dapat terintegrasi dengan pariwisatanya, sehingga tetap terjaga dan juga menggerakkan roda perekonomian. Generasi muda di Jepang juga turut ambil peran untuk mempromosikan kerajinan tersebut. Sederhana saja, yaitu dengan mengambil gambar, berswafoto dan mengunggahnya ke media sosial mereka. Mudah, murah, tapi dampaknya besar.

Contoh lain, tiap tahun, digelar festival-festival di kuil-kuil yang menampilkan seni tradisional, kuliner dan cenderamata khas tempat tersebut. Festival itu lalu disiarkan di televisi atau diunggah ke media sosial untuk menarik minat warga Jepang dan wisatawan mancanegara. Bahkan, ada juga anime atau dorama yang mengangkat tema festival itu dalam tayangannya dengan harapan menggugah minat generasi muda.

Vivi lantas menambahkan, Jepang berupaya beradaptasi dan memanfaatkan teknologi untuk menjaga budaya mereka. "Misalnya bagaimana tradisi bisa diadaptasi ke anime, dorama, atau bahkan cosplay dengan modifikasi model baju tradisional ke bentuk yang lebih ngepop. Jadi semuanya berjalan beriringan dan tetap hidup," kata dia.

Cara itu, menurut Diana dan Vivi bisa diadaptasi oleh Indonesia, meski butuh waktu dan proses yang tidak cepat. Apalagi, Indonesia sangat kaya dengan keberagaman, dari Sabang hingga Merauke.

"Indonesia itu sangat heterogen, dan Jepang lebih ke homogen. Namun untuk kemungkinan, tentu ada (untuk Indonesia)," ujar Diana.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement