Senin 13 Nov 2017 00:56 WIB

Donggala, Kota Pelabuhan yang Hilang

Rep: Fira Nursyabani/ Red: Yudha Manggala P Putra
Satu objek wisata di Donggala
Foto: warawiriwisata.com
Satu objek wisata di Donggala

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerbangan dari Soekarno-Hatta berakhir di Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Mobil sewa telah bersiap menyambut. Donggala adalah tujuan akhir kami.

Perjalanan menuju pusat pemerintahan Donggala cukup ditempuh selama satu jam perjalanan darat dari bandara. Jalan yang dilalui cukup berkelok-kelok namun sudah sepenuhnya beraspal tanpa lubang. Mobil sewaan yang saya tumpangi  harus melewati jalan Trans Palu- Donggala yang terbentang dari Teluk Palu ke arah utara. Akses jalan ini mengikuti garis pantai sejauh 35 km.

Di sepanjang jalan, ada dua pemandangan menakjubkan, pantai di sisi kanan dan barisan bukit hijau di sisi kiri. Donggala memang unik, meski masyarakatnya dikenal sebagai masya rakat pesisir, sebagian dari mereka juga penghuni dataran tinggi.

Tak banyak perahu nelayan terlihat. Kapal-kapal tongkang pembawa pasir lebih sering tampak sedang berlabuh di bibir pantai. Menurut Chandra, pemandu yang membawa saya dalam perjalanan tahun lalu ini, di Donggala memang ada aktivitas penambangan pasir. Pasir-pasir tersebut biasanya dibawa oleh kapal tongkang ke Kalimantan. "Karena aktivitas perairannya aktif, Donggala juga punya dua terminal peti kemas di daerah Loli," ujar Chandra.

Donggala pernah jadi kota yang cukup diperhitungkan sebagai kota tujuan utama tempat singgah pelaut-pelaut pribumi dan mancanegara. Letaknya yang strategis di ujung kiri Teluk Palu, membuat Donggala didaulat sebagai kota pelabuhan terbesar di Sulawesi pada masa kolonial Belanda abad ke-18.

Sebagai pintu masuk ke Sulawesi melalui jalur laut, Donggala juga pernah dijadikan pusat pemerintahan Belanda. Tak heran, di beberapa tempat masih terlihat bangunan-bangunan era kolonial Belanda yang usang dan tidak terpakai.

Ketua Dewan Kesenian Donggala, Tanwir Pettalolo, mengatakan, Donggala seperti kota pelabuhan yang hilang. Kini keberadaannya tergantikan seiring dengan banyaknya kota-kota pelabuhan lain. Bahkan di Sulawesi Tengah, Donggala tertinggal oleh ibu kota Palu.

"Donggala sekarang tak lagi berjaya. Padahal jika pemerintah dan masyarakat mau mema jukan, Donggala bisa besar seperti dulu," ujar budayawan yang pernah menuntut ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.

Menurut dia, Donggala memiliki banyak potensi yang bisa digali untuk kembali bangkit sebagai kota pelabuhan yang besar. Akses laut yang strategis bisa digunakan untuk memperluas jaringan perdagangan benda-benda khas Dong gala, seperti tenun dan kerajinan tangan lainnya.

Asisten Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Donggala, Taufik Yotolembah, menambahkan eksistensi Donggala di Sulawesi Tengah bisa dimunculkan kembali dengan adanya program wisata. Pemerintah Kabupaten Donggala pada Oktober 2016 sempat kembali mengadakan Festival Pesona Donggala guna menarik wisatawan untuk berkunjung. "Donggala punya potensi kearifan lokal yang sifatnya mendidik," ungkapnya.

Festival Pesona Donggala sendiri telah diadakan tiga tahun berturut-turut. Dalam festival ini, masyarakat Donggala akan mempersembahkan upacara adat balia, yaitu upacara adat yang berbau mistis. Pelaku akan membaca mantra hingga memiliki kekebalan tubuh saat menginjak bara api. "Dalam filosofinya adat balia adalah begitu manusia menghadapi dunia luar, akan menjadi peta bergerak bagi simpul kepentingan dan konflik," kata Taufik.

Tak hanya itu, masyarakat setempat juga akan memperlihatkan beberapa pertunjukan kesenian, seperti tari pontanu dan kesenian dade ndate. Tari pontanu adalah tarian khas masyarakat Donggala yang dibawakan oleh gadis-gadis cantik saat upacara adat penjemputan tamu.

Tarian ini menggambarkan kegiatan pembuatan tenun Donggala dari proses memintal benang hingga menjadi sebuah tenun sutra yang indah. Sedangkan kesenian dade ndate adalah nyanyian panjang yang biasanya diiringi oleh alat musik tiup tradisional lalove dan kecapi. Syair lagunya dinyanyikan secara spontan berisi pesan-pesan moral dan kearifan masyarakat setempat.

sumber : Pusat Data Republika/Nina Chairani
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement