Selasa 14 Nov 2023 18:11 WIB

Film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes Memuat Banyak Kritik Sosial

Film terbaru The Hunger Games menguak masa lalu Snow.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Foto adegan film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes.
Foto: Dok Lionsgate
Foto adegan film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Coriolanus Snow tak asing lagi bagi penggemar rangkaian film The Hunger Games. Presiden Panem yang lalim itu merupakan sosok yang dibenci dan sangat ditentang oleh rakyat. Kata sadis dan psikopat amat pas untuknya.

Film terbaru dari waralaba The Hunger Games yang diberi judul The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes menguak masa lalu Snow sebelum menjadi sosok seperti yang sudah dikenal. Sinema tayang di bioskop Indonesia mulai 15 November 2023.

Baca Juga

Latar waktu di kisah ini berlangsung 64 tahun sebelum Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) mengajukan diri sebagai peserta di ajang pertarungan The Hunger Games. Kesan kelam, suram, penuh kekerasan sudah hadir begitu film dimulai, yang menampilkan masa kecil Snow.

Keluarga Snow yang terpandang dikisahkan jatuh dan menjauh dari kejayaan di Capitol pascaperang. Snow muda merupakan harapan terakhir di garis keturunannya setelah kematian sang ayah. Dengan kondisi serbaterbatas, dia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas.

Tokoh Snow muda diperankan aktor Tom Blyth. Snow tinggal bersama sepupu perempuannya, Tigris (Hunter Schafer), serta sang nenek (Fionnula Flanagan). Snow sebenarnya hanya pemuda sederhana yang ingin membahagiakan dan mengembalikan kejayaan keluarganya.

Suatu ketika, Snow dan rekan-rekannya di Akademi ditugaskan menjadi mentor dari peserta Hunger Games ke-10, kompetisi di mana para pesertanya harus saling bunuh dan yang bertahan hiduplah yang jadi juara. Peserta bimbingan Snow adalah gadis eksentrik yang suka bernyanyi dari Distrik 12, bernama Lucy Gray Baird (Rachel Zegler).

Keterlibatannya menjadi mentor kompetisi Hunger Games membuat Snow dihadapkan pada situasi yang banyak mempertentangkan kebaikan dan kejahatan. Pada akhirnya, Snow harus memutuskan, akan menjadi seperti songbirds alias "burung penyanyi" atau menjelma sosok "ular".

Sebagai sebuah prekuel, The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes termasuk tayangan wajib tonton bagi penggemar setia film-film The Hunger Games. Sejumlah adegan dan dialog bakal membuat teringat pada deretan sinema Hunger Games yang sudah tayang.

Sosok Snow mengalami perubahan signifikan sejak usia belia hingga dewasa, dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang dia alami. Asal-usul Snow diwarnai banyak duka, kepiluan, ambisi, pengkhianatan, juga keputusasaan yang lantas berubah jadi kekejaman.

Film terbagi dalam tiga babak yakni "The Mentor", "The Prize", dan "The Peacekeeper". Masing-masing mengusung nuansa yang cukup berbeda terkait sosok Snow. Penonton diajak menyelami diri Snow yang berbeda ketika dia menjadi mentor, pemburu hadiah, serta saat ditugaskan jadi prajurit militer.

Sutradara Francis Lawrence mengemas perubahan kepribadian Snow dalam kisah dan plot yang mengaduk emosi. Ada bumbu romansa di dalam cerita, antara Snow dan Lucy. Sosok Lucy sebagai tokoh utama perempuan juga menarik disimak perkembangannya.

Seperti juga film-film The Hunger Games yang sudah tayang, The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes memuat banyak kritik sosial. Film menyoroti berbagai ketidakadilan, kesenjangan, kekejaman penguasa, juga imbas buruk dari perang dan penjajahan.

Secara umum, kisah yang menarik dan para pemain yang berperan dengan baik membuat film berdurasi 157 menit ini berlalu tanpa terasa, sembari penonton menebak-nebak arah plot. Meskipun, bagi penikmat film yang tak menyukai tayangan sarat kekerasan, sinema untuk 13 tahun ke atas ini mungkin membuat ngilu.

Selain aksi saling bunuh yang sadis di arena Hunger Games, banyak pula adegan kejam seperti hukuman gantung, pengeboman, penembakan, serangan fisik, atau memperlakukan manusia lain seperti hewan. Berbagai kesewenang-sewenangan demikian sekaligus sebagai pengingat, bahwa hal serupa ternyata masih juga terjadi di dunia nyata.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement