Jumat 21 Jul 2017 14:53 WIB

Mengenal Warung Rawon Tertua di Kota Malang

Rep: WILDA FIZRIYANI/ Red: Indira Rezkisari
Warung Rawon Brintik, Malang, Jawa Timur.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Warung Rawon Brintik, Malang, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, KOTA MALANG -- Bangunannya tidak begitu mencolok dibandingkan toko-toko yang berdiri di Jalan Ahmad Dahlan, Kota Malang. Warung Rawon Brintik nampak sangat sederhana dengan bentuk bangunan tua berwarna putih. Namun di balik kesederhanaan itu, warung ini ternyata memiliki keunikan tersendiri dibandingkan warung rawon lainnya di Kota Malang.

Pemilik Warung Rawon Brintik, Maslihah Hasyim menerangkan warungnya ini telah berdiri sejak 1942 oleh buyutnya, Napsiah. Warung rawon ini dapat disebut sebagai yang tertua di Kota Malang, Jawa Timur.

Muslihah mengatakan, semula warung tersebut berada di Jalan Petukangan yang saat ini berubah nama menjadi Jalan Gatot Subroto. Kemudian pindah di lokasi sekarang di Jalan Ahmad Dahlan sekitar 1965 atau 1966.

"Dulu tempat ini bekas penjual daging, kecil dan jelek tempatnya," kata perempuan yang berusia 71 tahun ini saat ditemui Republika.co.id di Warung Rawon Brintik Napsiah, Malang, Jumat (21/7).

Di masa awal dahulu, Muslihah menjelaskan, warung ini lebih dikenal dengan menu rawonnya yang tidak pernah berubah cita rasanya selama empat generasi. Kemudian ditambah menu-menu khusus lainnya seperti semur daging, bumbu rujak ayam dan kare ayam kampung. Seluruh makanan ini dimasak dengan arang dan bersama bahan-bahan dari pedagang yang telah berlangganan sejak warung ini berdiri.

Maslihah tahu betul bahwa saat ini sudah banyak berbagai teknologi masak yang ditawarkan dunia. Kompor minyak maupun gas tak membuatnya minat untuk memanfaatkannya dalam memasak menu-menu warungnya. Dia bersama keluarganya tetap menggunakan tungku arang yang dianggap lebih menimbulkan cita rasa yang berlebih. Tunggu ini telah digunakan sejak pertama kali dibukanya warung itu di Malang.

Menurut Muslihah, arang membuat daging maupun ayam lebih berasa dan gurih. Dagingnya pun lebih empuk dan nikmat dibandingkan rawon biasa lainnya. Terlebih lagi, keluarganya memiliki cara masak daging tersendiri yang membuat rasanya berbeda.

"Kita kalau masak daging tidak langsung dimasukkan semuanya. Ada bagian-bagian yang dimasukkan terlebih dahulu dan sebagainya. Kalau dimasukin bareng, nanti pasti ada yang hancur dagingnya karena itu bagian empuk," ujar perempuan berhijab ini.

Sementara untuk bumbunya, Muslihah, pada umumnya tidak ada yang berbeda dengan masakan serupa lainnya. Hanya saja dia sangat setia berlangganan pada pedagang bahan-bahan makanan yang telah terjalin sejak awal berdiri. Semua ini dilakukan agar cita rasa yang lama tidak hilang dan berbeda.

Warung Rawon Brintik biasanya menyiapkan bumbu untuk tiga sampai empat bulan ke depan. Dalam hal ini, baik bumbu untuk masakan rawon, semur dan sebagainya. Bumbu yang akan berbentuk kering ini memang sengaja dibuat lebih dahulu agar memudahkan pemilik.

Secara harga, Muslihah menjelaskan, masakan yang ditawarkannya sekitar Rp 25 ribu. Harga ini diperuntukkan masakan yang disertai nasi, seperti nasi rawon, nasi semur dan sebagainya. Namun apabila pelanggan menginginkan lauknya semata, pihaknya akan membanderol sekitar Rp 45 ribu per porsi besar.

"Dan kalau di hari raya biasanya kita naikkan menjadi Rp 50 ribu per porsi," ujar dia.

Warung Brintik yang sendiri buka dari pukul 05.00 sampai 16.00 waktu setempat. Warungnya terpaksa tutup lebih cepat karena kondisi fisik tidak memungkinkan bertahan lama. Meski demikian, warung ini tetap dikenal banyak pelangggan, bahkan hingga ke luar negeri.

Adapun mengenai penamaan Brintik pada warung ini sebenarnya tidak terlepas dari sosok pendirinya, Napsiah. Buyutnya ini memiliki rambut keriting sehingga dipanggil para pelanggan dengan sebutan "Brintik" dalam bahasa Jawa. "Dulu pelanggan Cina tidak bisa panggil Napsiah jadi panggilnya Brintik karena lebih mudah," tambah dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement