Sabtu 11 Oct 2014 07:01 WIB
Laporan dari Jepang

Wagashi, Si Manis Cantik dari Jepang

chef Kazuo Takada
Foto: Republika/Didi Purwadi
chef Kazuo Takada

REPUBLIKA.CO.ID, SAKAI -- Kamis (9/10) pagi itu, hotel tempat kami menginap di Sakai, Jepang, kedatangan tamu istimewa. Saya bersama wartawan lainnya dari Asia Tenggara mendapatkan kunjungan chef Kazuo Takada (67) yang dikenal sebagai ahli pembuat wagashi.

Ya, wagashi. Takada datang ke hotel untuk mengajarkan kami cara membuat kue panganan khas Jepang yang terkenal sangat manis rasanya dan cantik bentuknya itu.

‘’Kue wagashi merefleksikan musim. Wagashi itu soal perasaan,’’ kata Takada yang menjadi tamu istimewa kami dalam program ‘Sakai Asean Week 2014’.

Karena merefleksikan musim, wagashi tiap musim itu berbeda-beda bentuk, warna dan teksturnya.

Wagashi musim gugur itu identik dengan bentuk daun dan warna-warna kuning. Karena pada musim gugur, daun-daun yang tadinya hijau itu menguning sebelumnya akhir gugur ke bumi.

Wagashi musim semi beda lagi.  Wagashi musim semi rata-rata berbentuk bunga sedang mekar.

Pada kesempatan itu, Takada membuat wagashi musim semi berbentuk burung. Karena pada musim semi, burung-burung mulai keluar dari sarang setelah ‘tidur panjang’ selama musim dingin.

Tapi, seperti kata Takada, wagashi itu soal perasaan. Dan, setiap orang memiliki perasaan yang berbeda-beda soal arti sebuah musim.

Itulah mengapa tidak ada bentuk atau warna baku dalam pembuatan wagashi. Itulah kelebihan wagashi dibandingkan kue panganan negara lainnya yang kebanyakan memiliki bentuk dan warna yang serupa.

Membuat kue wagashi itu ibarat menciptakan sebuah karya seni. Bentuk Wagashi sebagai sebuah karya seni yang indah itu terkadang dipandang lebih penting daripada citra rasanya.

Pengalaman Membuat Wagashi

Takada pagi itu tidak hanya mengajarkan kami cara ‘merangkai’ wagashi. Takada, yang telah menggeluti dunia wagashi selama 45 tahun, juga mengajak kami turun langsung membuat wagashi.

Takada meminta kami untuk memilih wagashi bentuk apa yang akan dibuat. Setelah itu, Takada memberikan adonan yang berbahan dasar tepung terigu, gula, pewarna alami dan air.  Isi adonannya berupa kacang azuki.

‘’Isinya menggunakan kacang azuki. Kacang khas Jepang dari Hokkaido,’’ kata Takada. ‘’Kalau menggunakan kacang lain, itu rasa dan teksturnya akan berbeda.’’

Kami pun mulai membuat wagashi. Adonan tepung dipipihkan, lalu dimasukkan adonan azuki dan kemudian digulung hingga bulat sampai adonan azuki tertutup rata adonan tepung.

Setelah itu, acara mengkreasikan bentuk wagashi sesuai perasaan dimulai. Saya menggunakan sebuah kayu kecil berbentuk segitiga yang digunakan sisinya untuk membentuk pola pada wagashi.

Dalam waktu sepuluh menitan, wagashi telah siap. Hisanori Kato, penasehat pemerintah kota Sakai yang menjamu kami selama perhelatan ‘Sakai Asean Week 2014’, tiba-tiba mengambil wagashi buatan saya.

‘’Hei.. ini wagashi buatan Didi dari Indonesia,’’ ujar Kato sambil memperlihatkan wagashi saya yang langsung disambut tawa wartawan lain. Wagashi buatan saya terlihat aneh karena bentuk bulat wagashinya belum sedikit dipipihkan sehingga masih bulat seperti bola pingpong.

Saya semula ingin membuat wagashi musim semi berupa bentuk bunga yang sedang mekar. Semestinya berbentuk sedikit lebar agar terlihat seperti bunga, tapi wagashi buatan saya justru berbentuk bulat persis onde-onde.

Saya dan sejumlah wartawan Asia Tenggara beruntung bisa memperoleh kesempatan membuat wagashi yang harga jualnya sekitar Rp 35.000 – Rp 45.000 untuk satu wagashi kecil seukuran kue onde-onde. Bahkan, Takada pernah menjual satu wagashi dengan harga Rp 150 ribu karena tingkat kerumitan bentuknya sangat sulit.

Wagashi buatan kami dibawa dalam acara jamuan minum teh ala Jepang. Manisnya rasa wagashi menjadi penawar bagi rasa pahitnya teh hijau Jepang yang sangat pekat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement