REPUBLIKA.CO.ID, SAKAI -- Chin-Chin Densha, trem kuno yang sudah berusia 100 tahun lebih, berjalan lamban menelusuri jalanan Kota Sakai, Osaka, Jepang, Rabu (8/10). Di ruang gerbongnya yang berpenyejuk udara dingin air conditioner itu, sepuluh mahasiswa duduk santai sambil bercengkerama.
Dua mahasiswi berwajah Indonesia. Mereka, Isniarti (23) dan Silvya Priesca Nurhidayati (22), bersama dengan mahasiswa Vietnam, Kamboja, Thailand dan Filipina sedang menjalani misi 17 hari di bumi Sakai.
‘’Saya sudah tiga hari jadi duta sipil,’’ kata Silvya yang mengenakan jilbab tersebut. ‘’Tugas kami mempromosikan budaya Indonesia.’’
Silvya mengaku menjalani misi tersebut selama 17 hari mulai tanggal 4 hingga 20 Oktober. Dalam tiga hari terakhir, Silvya bersama duta sipil lainnya telah mengunjungi kantor walikota Sakai, gedung parlemen, dan presentasi di sejumlah sekolah dasar di Sakai.
‘’Kami mempromosikan budaya Sunda dan Betawi ke sejumlah sekolah dasar di Sakai,’’ ujar Silvya yang mengaku berdarah Sunda. ‘’Anak-anak sangat antusias ingin tahu tentang budaya Indonesia.’’
Silvya dan Isniarti tidak hanya berkunjung ke sejumlah pusat pemerintahan dalam progam ‘Sakai Asean Week 2014’ ini. Kedua mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Jakarta ini juga melakukan homestay dengan sebuah keluarga Jepang di Sakai.
Isniarti tinggal bersama keluarga Mori Chieko-Mori Thoshive. Sementara, Silvya menetap bersama keluarga polisi Kawanaka Kengo-Kawanaka Chiemi.
‘’Kami banyak belajar tentang budaya Jepang,’’ kata Isniarti. ‘’Contohnya, di Jepang, kamar mandinya itu ada tiga bagian. Ada ruang khusus toilet, ruang berendam dan ruang sikat gigi.’’
Homestay memang menjadi cara jitu dalam mempelajari kebiasaan keseharian masyarakat sebuah negara. Dan Isniarti, Silvya bersama delapan mahasiswa Asia Tenggara lainnya berkesempatan mempelajari budaya keseharian masyarakat Jepang dengan mata kepala mereka sendiri.
Tapi, sebaliknya Isniarti dan Silvya juga berkesempatan ‘membacakan’ Indonesia kepada keluarga Jepang. Termasuk menjelaskan keingin-tahuan keluarga Kawanaka Kengo-Kawanaka Chiemi ketika melihat Silvya yang berjilbab.
‘’Mereka tertarik ingin tahu gimana caranya memakai jilbab,’’ kata Silvya. ‘’Mereka juga tanya-tanya soal Islam.’’
Ucu Fadhilah, dosen pendamping dari delegasi mahasiswa Indonesia, mengaku program Asean Week ini awalnya bekerjasama dengan pihak lain pada 2006-2009. Karena dinilai bagus, pemerintah Kota Sakai memasukannya dalam Agenda tahunan mereka.
‘’Tahun ini merupakan tahun kesembilan,’’ ujar Ucu Fadhilah.
Ucu Fadhilah mengaku mahasiswa peserta ‘Sakai Asean Week’ tidak hanya harus memiliki syarat IPK 3. Mereka juga harus lulus tes tertulis bahasa Jepang, tes wawancara dalam bahasa Jepang dan membuat esai tentang Jepang.
‘’Mereka juga harus memiliki pengetahuan luas tentang Indonesia karena mereka akan menjadi duta negaranya,’’ kata Ucu Fadhilah.