REPUBLIKA.CO.ID, SAKAI -- Kini tersisa sebuah bangunan tua yang dulunya berfungsi sebagai stasiun trem. Bangunan sebagian dari kayu yang hanya seluas 6x5 meter persegi.
Selain stasiun trem yang bernama Hamadera-Ekimae itu, tentunya yang tersisa lainnya adalah densha (trem) itu sendiri.
‘’Chin-Chin Densha,’’ ujar Hisanori Kato Ph.D., penasehat Pemerintah Kota Sakai, Osaka, Jepang, yang Rabu (8/10) itu mengajak saya bersama sejumlah wartawan dari negara Asia Tenggara lainnya naik Chin-Chin Densha berkeliling Kota Sakai dalam rangkaian acara ‘Sakai Asean Week 2014’.
‘’Densha artinya trem. Sedangkan, chin-chin adalah bunyi dari bel trem tersebut,’’ kata Kato sambil sedikit bergoyang mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang diombang-ambingkan oleh getaran laju chin-chin densha.
Chin-Chin Densha mulai beroperasi di Sakai, Osaka, pada 1907. Sejak pertama kali menelusuri jalanan Kota Sakai hingga sekarang, Chin-Chin Densha dioperasikan oleh Hankai Tram. Rutenya pun sama yakni Stasiun Hamadera Ekimae (Sakai) ke/dari Stasiun Ebisucho (Osaka) yang melewati 20 stasiun kecil --lebih mirip halte bus di jalanan ibukota Jakarta.
‘’Jarak tempuhnya sekitar 14 kilometer,’’ ujar Mukaiyama, kepala stasiun Hankai Tram, yang hari itu didaulat menjadi pemandu wisata kami.
Densha-nya pun tak berubah meski sudah dimodifikasi dengan sentuhan modernisasi seperti ruangan yang kini berpenyejuk udara dingin air conditioner dan laju trem yang kini digerakan oleh listrik. Alat kemudinya pun masih terlihat jadul ketika saya melongoknya dari belakang sang sopir.
Hilangnya Suara Chin-Chin
Tidak ada yang berubah dari Chin-Chin Densha sejak 107 tahun lalu.
Cuma satu-satunya yang kini menghilang dari Chin-Chin Densha, yakni bunyi chin... chin... chin... ketika sang sopir trem membunyikan bel klakson.
‘’Tidak ada lagi bunyi bel karena belnya kini hanya jadi asesoris, tidak difungsikan,’’ kata Mukaiyama.
Dulu memang bel dibutuhkan untuk ‘membersihkan’ jalanan dari kerumunan orang. Ketika terdengar bunyi chin... chin..., orang-orang akan langsung berhamburan ke sisi jalan karena tahu Chin-Chin Densha mau lewat.
Di lain cerita, seorang anak kecil akan melompat dari Chin-Chin Densha lalu berlari mendahuluinya untuk memberitahukan kerumunan orang di depannya. ‘’Chin-Chin Densha mau lewat,’’ teriak anak itu sambil berlari menuju kerumunan orang yang menghalangi jalannya Chin-Chin Densha yang lamban.
Saya jadi teringat cerita Abah Alwi Shahab, salah satu wartawan senior kami sekaligus ahli sejarah Betawi, yang berkisah soal keberadaan trem di Jakarta tempo dulu. Sama seperti Chin-Chin Densha di Sakai, warga akan langsung berhamburan ke pinggir jalan ketika trem datang dengan mengeraskan bunyi belnya ‘neng.. neng.. neng.. neng...
Menikmati Sakai
Suara chin.. chin.. kini tak lagi terdengar. Fungsinya tergantikan oleh traffic light yang mengatur laju Chin-Chin Densha agar tidak menabrak warga. Sama seperti kendaraan lainnya, Chin-Chin Densha akan berhenti tiap kali traffic light berwarna merah.
Meski kecepatan maksimumnya 80 km/jam, Chin-Chin Densha yang memiliki ukuran panjang 13,7 meter serta lebar 2,5 meter dan tinggi 3,7 meter itu jarang sekali melaju di atas 40 km/jam. Terlebih Chin-Chin Densha selalu berhenti di tiap stasiun kecil yang jarak antar stasiun kecil rata-rata satu kilometeran.
Uniknya, rata-rata lokasi stasiun kecil Chin-Chin Densha terletak di perempatan jalan. Sehingga, ketika sudah mengangkut atau menurunkan penumpang, Chin-Chin Densha terkadang harus menunggu terlebih dahulu karena traffic light di perempatan masih berwarna merah.
Lambannya laju Chin-Chin Densha justru menjadi faktor keuntungan. ‘’Penumpang jadi nyaman menikmati keindahan Sakai,’’ kata Kato.
Memang lambannya laju Chin-Chin Densha membuat penumpang bisa menikmati suasana di sisi kiri sisi kanan. Kita bisa menikmati perumahan di Sakai yang berjejer berkotak-kotak dengan jalan perumahan yang hanya muat satu mobil.
Deretan bangunan-bangunan modern pun menghiasi sisi kanan dan sisi kiri perjalanan kami. Chin-Chin Densha juga melewati sungai Yamato Gawa. ‘’Sungai ini merupakan perbatasan Sakai dan Osaka. Sebentar lagi kita akan memasuki wilayah Osaka,’’ ujar Kato.
Tapi sayang, Sungai Yamato Gawa yang disebutnya sungai buatan itu sedang kering sehingga terlihat hampir setengah lebar dasarnya. Chin-Chin Densha sebelumnya juga melewati salah satu kuil shinto terbesar di Jepang, Sumiyoshi Taisha, yang berdiri megah di sisi kanan jalan.
Setelah sekitar 45 menit perjalanan sejak pukul 13.30 waktu setempat, saya bersama rombongan tiba di stasiun terakhir, Ebisucho, Osaka. Kembali kami diperlihatkan sebuah bangunan indah, Osaka Tower, yang memiliki tinggi 130 meter. Bangunan yang pernah terbakar pada tahun 1956 itu berdiri ‘angkuh’ di tengah Blok-Mnya Sakai: ‘Osaka Shinsekai’.
Chin-Chin Densha kini tidak lagi bersuara chin.. chin.. Meskipun demikian, Chin-Chin Densha tidak berubah. Dengan harga tiket hanya 200 yen (Rp 22.000), Chin-Chin Densha tetap menjadi transportasi massal kecintaan warga Sakai yang beroperasi mulai pukul 05.15 hingga 23.00.
Terbukti, Chin-Chin Densha yang memiliki kapasitas 20 kursi dengan total penumpang 90 orang dalam sekali angkut itu tiap harinya mengangkut 60 ribu orang pulang pergi Sakai-Osaka.