REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah ulasan dan metaanalisis terbaru yang dipimpin oleh para peneliti dari Queen Mary University of London, mengungkapkan bahwa sifat sensitivitas tinggi memiliki hubungan kuat dengan beberapa kondisi kesehatan mental. Sekitar sepertiga dari populasi manusia digolongkan sebagai "sangat sensitif" yang berarti mereka memproses informasi sensorik dari lingkungan seperti suara, pemandangan, dan emosi jauh lebih dalam daripada orang lain.
Penelitian ini menganalisis 33 studi yang melibatkan lebih dari 12 ribu orang. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan moderat antara sensitivitas lingkungan yang tinggi dengan gangguan kesehatan mental umum, seperti depresi, kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan fobia sosial. Hubungan ini konsisten, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sensitivitas seseorang, semakin banyak gejala kesehatan mental yang mereka alami.
Sifat sensitivitas lingkungan menggambarkan orang yang bereaksi lebih kuat terhadap lingkungan sekitar mereka. Individu ini sering kali menyadari perubahan kecil di sekitarnya, merasa kewalahan di lingkungan yang ramai, dan mengalami respons emosional yang intens, baik terhadap situasi positif maupun negatif. Sifat ini berada dalam sebuah spektrum yakni sekitar 29 persen orang memiliki sensitivitas rendah, 40 persen sensitivitas sedang, dan 31 sensitivitas tinggi.
Para ilmuwan mengukur sifat ini menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan seperti "Apakah Anda lebih terpengaruh oleh suasana hati orang lain daripada kebanyakan orang?" dan "Apakah Anda merasa tidak nyaman ketika banyak hal terjadi di sekitar Anda?". Konsep ini telah ada sejak Carl Jung pada tahun 1913, tetapi penelitian sistematis baru dimulai pada 1990-an. Studi pencitraan otak bahkan telah mengungkapkan adanya aktivitas yang lebih tinggi di area otak yang terkait dengan empati, pemrosesan sosial, dan pemikiran reflektif pada individu yang sensitif.
Meskipun sensitivitas tinggi bukanlah sebuah gangguan, para peneliti berpendapat bahwa sifat ini dapat membentuk cara seseorang mengalami masalah kesehatan mental dan harus lebih diperhatikan dalam diagnosis dan perawatan. Saat ini, sebagian besar terapis dan dokter tidak secara rutin memeriksa tingkat sensitivitas lingkungan pasien, padahal ini bisa menjadi faktor penting dalam penanganan pasien.
Ulasan ini menemukan bahwa ada hubungan moderat antara sensitivitas dan gangguan kecemasan dan depresi. Selain itu, aspek sensitivitas yang berbeda menunjukkan hubungan yang bervariasi dengan masalah kesehatan mental. Kecenderungan untuk mudah merasa kewalahan dan memiliki ambang batas rendah terhadap rangsangan sensorik menunjukkan hubungan yang lebih kuat dengan masalah psikologis dibandingkan dengan sensitivitas estetika yaitu kemampuan untuk tergerak secara mendalam oleh seni atau musik.
"Pengetahuan yang lebih baik tentang peran perbedaan individu dalam sensitivitas untuk kesehatan mental tidak hanya dapat menginformasikan teori, tetapi juga dapat memiliki implikasi praktis untuk perencanaan perawatan dan seberapa baik intervensi bekerja," tulis peneliti dikutip dari laman Study Finds pada Selasa (19/8/2025).
Beberapa penelitian kecil sebelumnya menunjukkan bahwa individu yang sangat sensitif mungkin merespons secara berbeda terhadap perawatan psikologis, dan bahkan mungkin mendapat manfaat lebih dari terapi berbasis mindfulness yang dapat membantu mereka mengelola stimulasi berlebihan dan reaksi emosional. Namun, penelitian ini juga memiliki keterbatasan.
Sebagian besar studi mengandalkan mahasiswa yang mungkin tidak merepresentasikan populasi yang lebih luas. Selain itu, hampir semua studi mengamati orang pada satu titik waktu, sehingga tidak bisa membuktikan apakah sensitivitas yang menyebabkan masalah kesehatan mental atau sebaliknya.
View this post on Instagram