Jumat 24 Nov 2023 00:04 WIB

Tren tak Keramas 30 Hari untuk Kesehatan Rambut, Benarkah? Ini Kata Dokter

Ten ini digadang dapat membuat rambut dan kulit kepala menjadi lebih sehat.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
Seseorang sedang keramas (ilustrasi). Hair training atau tidak keramas dalam waktu selama mungkin, kini menjadi tren yang menarik perhatian banyak pengguna TikTok.
Foto: www.freepik.com.
Seseorang sedang keramas (ilustrasi). Hair training atau tidak keramas dalam waktu selama mungkin, kini menjadi tren yang menarik perhatian banyak pengguna TikTok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hair training atau tidak keramas dalam waktu selama mungkin, kini menjadi tren yang menarik perhatian banyak pengguna TikTok. Betapa tidak, tren ini digadang dapat membuat rambut dan kulit kepala menjadi lebih sehat.

Klaim tersebut tampaknya berhasil membuat banyak influencer kecantikan di TikTok yang tergoda untuk mencoba hair training. Saat melakukan hair training, mereka bisa tidak keramas selama beberapa pekan atau bahkan sampai 30 hari. Sebagian dari influencer itu mengaku rambut mereka jadi lebih bersinar setelah menjalani hair training.

Baca Juga

Terlepas dari testimoni positif yang diberikan sejumlah influencer, para ahli tampaknya memiliki pendapat yang berbeda. Edukator global dari perusahaan perawatan rambut EIDEAL, Sam Carpenter, mengungkapkan bahwa ide di balik tren hair training adalah melatih rambut dan kulit kepala dengan cara jarang dikeramas.

"Tren ini berakar dari keyakinan bahwa zat kimia seperti sulfat (yang ada di banyak produk perawatan rambut) akan membuat rambut menjadi kering, sehingga memicu terjadinya produksi berlebih minyak alami di kulit kepala," jawab Carpenter, seperti dilansir Healthline pada Kamis (23/11/2023).

Dengan mengurangi frekuensi keramas, mereka meyakini paparan zat-zat kimia dalam produk perawatan rambut tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap rambut dan kulit kepala. Harapannya, rambut dan kulit kepala akan kembali ke kondisi yang lebih sehat.

Bagaimana faktanya?

Menurut Carpenter, jarang melakukan keramas justru dapat menyebabkan minyak hingga kotoran menumpuk di kulit kepala dan rambut. Kondisi tersebut dapat memicu terjadinya gatal, kemunculan ketombe, iritasi, hingga peradangan. Beragam masalah ini bisa menyebabkan timbulnya masalah kerontokan rambut.

Sebuah studi yang dipublikasikan pada 2021 juga mendukung pernyataan Carpenter. Studi ini menemukan bahwa jarang keramas dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerontokan rambut.

Selain kerontokan rambut, jarang keramas juga dapat meningkatkan risiko terjadinya seborrheic dermatitis. Menurut dokter estetika di Euromed Clinic Dubai, dr Fariha Anwar, seborrheic dermatitis adalah masalah kulit yang umumnya mengenai kulit kepala dan ditandai dengan gejala seperti kulit memerah, gatal, dan meradang.

Dr Anwar mengatakan, jarang keramas memang bukan penyebab langsung dari seborrheic dermatitis. Akan tetapi, jarang keramas dapat membuat kulit kepala dipenuhi oleh tumpukan sebum. Kondisi inilah yang dapat meningkatkan peluang terjadinya seborrheic dermatitis.

Di sisi lain, jarang keramas juga memungkinkan ragi untuk bertumbuh lebih subur di kulit kepala. Seperti dilansir Cleveland Clinic, ragi di kulit kepala bisa menyebabkan infeksi dan memunculkan keluhan seperti gatal hingga ruam.

Dengan kata lain, hair training kemungkinan tidak akan memberikan hasil yang positif bagi sebagian besar orang. Selain itu, jarang keramas juga dapat membuat rambut terlihat kotor dan berbau tidak sedap.

Setiap orang akan memiliki frekuensi keramas ideal yang berbeda-beda. Perbedaan ini biasanya dipengaruhi oleh kondisi kesehatan kulit kepala, jenis rambut, dan tujuan yang ingin dicapai dari keramas.

Sebagai contoh, orang yang memiliki rambut berdiameter lebih kecil lebih disarankan untuk keramas setiap hari. American Academy of Dermatology Association juga menganjurkan keramas setiap hari untuk orang yang memiliki rambut berminyak.

"Bila Anda sering menggunakan banyak produk penata gaya rambut, Anda juga perlu keramas lebih sering untuk mengurangi penumpukan (residu) produk," ujar Carpenter.

Sumber berita asli: Lihat

sumber : Healthline
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement