REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lanskap literasi dinilai telah mengalami transformasi signifikan yang didorong oleh gelombang digitalisasi dan munculnya platform media sosial. Salah satu platform media sosial, TikTok, berupaya tidak hanya merangkul, tetapi juga merevitalisasi semangat membaca, terutama di kalangan generasi muda.
Fenomena ini, yang dikenal luas melalui tagar seperti #BookTok, menunjukkan bahwa kecintaan terhadap buku dapat berkembang pesat di ranah digital yang dinamis. Senior Manager, PR & Communications, TikTok Indonesia, Edwin Lengkei, mengatakan komunitas di platform ini secara aktif berbagi minat mereka terhadap literasi, menciptakan ekosistem yang semarak di mana buku-buku menemukan audiens baru.
"Komunitas di TikTok aktif berbagi minat mereka terhadap literasi dan meramaikan tagar populer seperti #BookTok dengan lebih dari 55 juta unggahan," kata Edwin mengutip data internal TikTok tahun 2025, saat bincang-bincang virtual bertajuk "Rayakan Hari Buku Nasional: Simak #SerunyaMembaca bareng Penulis, Penerbit, dan Komunitas Buku di TikTok" pada Selasa (20/5/2025).
Angka ini mencerminkan betapa besarnya daya tarik literasi di platform tersebut. Lebih lanjut, inisiatif TikTok yang diluncurkan pada 2022, #serunyamembaca dengan lebih dari 400 ribu unggahan, bertujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, mendukung komunitas berbagi, dan menemukan inspirasi bacaan bermanfaat, khususnya di kalangan generasi muda. Inisiatif ini juga membuka ruang kolaborasi antara komunitas, kreator, dan institusi literasi untuk menyebarkan semangat membaca, menciptakan jembatan antara dunia literasi tradisional dan digital.
Peran kreator konten dalam memicu gelombang literasi di TikTok sangat krusial. Syarif, seorang pengulas buku dan kreator TikTok dengan akun @menceriakan, berbagi pengalamannya. "Inspirasi bikin konten buku, awalnya iseng. Gak ada keinginan kuat untuk jadi konten kreator," ujarnya.
Namun, di tengah pandemi Covid-19 pada 2020, ketika mobilitas terbatas, Syarif menemukan kesenangan dalam berbagi buku-buku yang telah dibacanya. Respons positif yang tak terduga mengubah pandangannya.
"Banyak feedback positif, kaget, gak pernah nyangka sebesar itu atensinya. Bikin konten perbukuan malah melejit," kenangnya.
Syarif mengakui bahwa membuat konten perbukuan lebih menantang. "Cara delivery konten perbukuan beda dari bikin konten lain. Harus menelan dan mencerna konten secara menarik. Itu hal yang menantang. Kadang kita merasa buku ini bagus, tapi dari mana ya, gimana ya kita menyampaikan ke followers?,” ujarnya.
Pendiri Festival Literasi Patjar Merah, Windy Ariestanty, menekankan pentingnya pendekatan storytelling dalam mengulas buku. "Kami sangat percaya pada pendekatan storytelling. Kalau bicara soal konten baca buku, anomali. Kita gak bisa bilang buku itu bagus hanya tinggal nunjukin atau lihat sampulnya saja. Jadi kuncinya harus dibicarakan dan diceritakan," kata Windy.
Ia menyoroti bahwa orisinalitas dan kejujuran kreator adalah kunci. "Makanya ketika konten kreator melakukan pendekatan pas di TikTok dengan cara genuine, autentik, kita tunjukkan kejujuran untuk cerita dari sebuah buku penting banget. Itu yang kami jaga. Ketika audiens kehilangan kepercayaan, susah. Bercerita secara jujur bikin orang bisa memutuskan saya mau baca buku ini,” ujarnya menjelaskan.
Alasan Patjar Merah memilih TikTok sebagai platform juga strategis. "Kenapa kami pakai TikTok? Pengen terhubung dengan pembaca muda. Regenerasi ada di situ, buku-buku baik harus dibicarakan. Di Indonesia, meningkat kalangan pembaca muda, berangkat dari TikTok," kata dia.
Windy mengatakan pandemi juga berperan besar dalam perubahan perilaku konsumen, mendorong adopsi belanja daring. "Dulu kita belum punya kebiasaan beli online. Pandemi bikin kita melebarkan zona nyaman. Saat itu muncul toko buku alternatif di TikTok. Bahkan satu orang bisa jadi seperti satu toko buku. Banyak sekali toko buku bermunculan yang penjualannya bagus sekali, toko buku mau collaps masuk TikTok, jual buku, terselamatkan," ujar Windy.
Ia menegaskan bahwa TikTok bukan hanya untuk anak muda, melainkan ruang temu yang tepat semua kalangan. Bagi penulis baru, Windy memberikan tiga tips fundamental. Pertama, penulis harus juga menjadi pembaca yang tekun. “Kalau jarang baca, tulisannya bisa kering. Membaca bikin kita bisa lihat sesuatu jadi lebih kaya. Kedua, Berangkat dari kegelisahan, tulis tentang itu, pantang menulis hal yang tidak kamu tahu. Ketiga, banyak latihan,” kata dia.
Penulis dan kreator TikTok dengan akun @indradwiprasetyoofficial, Indra Dwi Prasetyo,
juga membagikan perspektifnya. "Saya senang baca, punya target setahun kalau bisa 50 bacaan saya habiskan, target itu konsisten. Mengendap di otak. Saya pikir sayang kalau tidak dibagikan," ujarnya.
Awalnya skeptis, Indra menemukan bahwa konten perbukuan menarik minat pengguna TikTok. "Tiktok membantu untuk memperkenalkan buku-buku yang sedikit agak kritis, bukan buku mayor, TikTok beri ruang berekspresi," katanya.
Ia pun menekankan peran TikTok dalam mendukung penulis lokal dan independen. "Tiktok jadi platform inklusif dukung penulis lokal, kecil, dan independen, di daerah terbantu karena akses reachable,” ujarnya.
Dalam mengulas buku, Indra selalu menawarkan sudut pandang pribadi. "Ketika saya membuat konten ulasan buku, saya selalu menawarkan POV pribadi. Kita tidak bisa bilang ‘buku bagus’, tapi apa POV kamu. Itu menarik. Selama punya POV, penilaian akan sangat subjektif dan justru itu yang dicari orang. Kalau cuma nyari yang objektif, bisa dicari di Wikipedia. Itulah mengapa ulasan tiap orang beda. Petarungan POV yang semakin menarik, genuine, semakin disukai followers,” kata dia menjelaskan.