REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sering mengabaikan membaca label gizi? Kebiasaan ini nampaknya perlu diubah. Membaca label gizi yang tertera di produk pangan dapat membantu mencegah risiko meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) yang disebabkan asupan gula, garam dan lemak yang berlebihan.
"Label gizi merupakan sarana komunikasi antara produsen pangan dan konsumen. Label gizi membantu konsumen memperoleh informasi produk pangan sesuai kebutuhan gizinya," kataDirektur Standardisasi Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Sutanti Siti Namtini dalam webinar "Cara Cerdas Memilih Produk Pangan", Rabu.
Sutanti mengatakan, penyakit tidak menular dapat berdampak buruk terhadap bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2030-2040. Populasi usia produktif antara 15-64 di Indonesia pada satu hingga dua dekade mendatang diprediksi mencapai 64 persen dari perkiraan total 297 juta jiwa.
"Penyakit Tidak Menular bisa memberikan dampak negatif pada periode bonus demografi kalau kita sebagai pemerintah, sektor swasta atau masyarakat tidak menyiapkan dengan baik upaya pengendalian dan pencegahan PTM," jelas dia.
Gaya hidup tidak sehat, termasuk pola makan, adalah salah satu faktor yang mempengaruhi faktor risiko PTM seperti diabetes, hipertensi, stroke dan penyakit sendi. Menjaga asupan gizi yang seimbang adalah cara mencaegah faktor risiko PTM. Memahami label pangan bisa membantu konsumen memilih pangan sesuai kebutuhannya.
Badan POM sudah mengeluarkan peraturan Nomor 22 Tahun 2019 mengenai Informasi Nilai Gizi pada semua pangan olahan.
Sutanti mengatakan, mempertimbangkan literasi masyarakat yang masih rendah, pihaknya membuat terobosan agar label gizi mudah dimengerti. Caranya adalah membuat panduan asupan gizi dengan desain monokrom yang menyoroti tabel informasi nilai gizi.
"Serta pencantuman logo "Pilihan Lebih Sehat" untuk beberapa produk, yakni minuman siap konsumsi dan mi instan dan pasta instan," katanya.
Dia berharap, adanya label gizi yang mudah dipahami bisa membantu masyarakat memilih produk pangan olahan yang sesuai dengan kebutuhan gizi masing-masing individu.
Sutanti menambahkan, butuh keterlibatan semua pemangku kepentingan demi mencapai keberhasilan kebijakan tersebut.
Kepala Subdit Standardisasi Pangan Olahan Tertentu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Yusra Egayanti menjelaskan kriteria yang harus dipenuhi agar dapat mencantumkan logo "Pilihan Lebih Sehat".
Produk minuman siap konsumsi bisa mencantumkan logo "Pilihan Lebih Sehat" bila mengandung gula (monosakaridadan disakarida) tanpa bahan tambahan pangan (BTP) pemanis maksimal 6 gram per 100 ml.
Sementara pasta dan mi instan yang punya logo tersebut punya batas maksimum lemak total 20 gram per 100 gram, dan garam (natrium) 900 mg per 100 gram.
"'Pilihan Lebih Sehat' disini (artinya) produk ini lebih sehat dibanding produk sejenis selama dikonsumsi dengan jumlah yang wajar, jadi jika dikonsumsi berlebih maka bukan lagi pilihan lebih sehat."
Dr. Rimbawan dari Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor menjelaskan, label pangan yang baik bisa memberikan informasi komposisi bahan penyusund an sifat produk untuk menghindari kebingungan konsumen.
Selain itu, label pangan yang baik dapat melindungi konsumen dari kemungkinan kesalahan penggunaan, risiko serta bahaya. Konsumen pun dapat membuat keputusan tepat memilih produk terbaik untuk kesehatannya.