Rabu 03 Aug 2016 06:07 WIB

Meresapi Konsistensi The Trees and The Wild di Jalur Indie

Red: M.Iqbal
Para personel The Trees And The Wild tengah beraksi di atas panggung.
Foto: thetreesandthewild.com
Para personel The Trees And The Wild tengah beraksi di atas panggung.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Muhammad Iqbal/Wartawan Republika

Hidup adalah pilihan. Termasuk bagi para pekerja seni musik di Tanah Air. The Trees and The Wild (TTATW) hanya satu dari sekian banyak band yang memilih indie sebagai jalur bermusik.

Sebuah pilihan yang sejatinya tak perlu diperdebatkan. Sebab siapa pun berhak memilih. Tak terkecuali TTATW.

Tanpa terasa sudah 11 tahun TTATW malang melintang di kancah musik Indonesia. Ujung tombak sekaligus vokalis dan gitaris TTATW Remedy Waloni menceritakan, semua berawal dari kegemarannya bersama Andra Kurniawan (gitaris TTATW) bermain musik. "Dulu pas sekolah main musik. Pas kuliah kita coba nulis lagu," ujarnya saat ditemui Republika di bilangan Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Proses menulis lagu sendiri tidak instan. Sempat pula Remedy dan Andra memainkan lagu-lagu milik penyanyi lain (cover song). Hingga timbul kepercayaan diri untuk membuat karya sendiri.

"Saat internet booming, kita memanfaatkan Myspace dan memasukkan lagu-lagu kita ke sana," kata Remedy. Setelah itu, proses rekaman dimulai hingga lahir album Rasuk pada 2009. Seiring waktu, tawaran manggung dari dalam mapun luar negeri berdatangan.

"Sampai sekarang demikian. Mungkin kalau bisa kita bilang ini berkat internet," ujar Remedy. Ihwal pilihan jalur bermusik, Remedy menjelaskan TTATW adalah band yang independen. Tidak ada kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk modal.

"Jadi kita sendiri yang ngurus. Itu salah satu faktor pendukung internet," kata Remedy. Potensi ekonomi sejatinya bisa hadir dari mana saja bagi band-band indie. TTATW mengaku tambahan kocek terbesar hadir dari live show (pertunjukkan langsung).   

 

Ini wajar mengingat mengharapkan penjualan fisik berupa CD tidak seberapa menguntungkan. Mayoritas label besar pun, lanjut Remedy, juga mengambil ceruk ini. "Walau ada juga label yang old school hanya urusin rekaman saja," ujarnya.

"Cuma pada dasarnya dari live show untuk modal," lanjut Remedy. Bicara tentang live show, TTATW juga memasang tarif. Namun, jumlahnya tidak bisa disebutkan.

"Intinya ada cost production juga. Dari sisi latihan saja kan sewa studio. Ada standarnya. " kata Remedy. Sejauh ini, para promotor yang mengundang TTATW dari dalam maupun luar negeri, mengakodomasi semua aspek krusial. Seperti transportasi, penginapan hingga konsumsi.

Untuk melakoni live show di luar negeri semisal di Tallinn (Estonia) atau Helsinki (Finlandia), TTATW juga pernah mengupayakan sumber pendanaan lain. Misalnya lewat crowd funding dari fan setia. Hasilnya bisa membantu 30 persen kebutuhan dana.

Selain dari live show, TTATW juga melirik potensi untuk menjual karyanya via vinyl. Rencana untuk itu ada.

Namun, sebagai band indie yang mengandalkan semua pembiayaan secara mandiri, tentu dibutuhkan perhitungan cermat. Begitu pula time frame peluncurannya.   "Cuma dari sisi seni kita pengen karena kualitas sound di vinyl beda," kata Remedy.

Andra menambahkan, potensi ekonomi juga dapat hadir dari licensing. Penjelasan sederhananya, lagu-lagu TTATW digunakan sebagai soundtrack produk, iklan atau bahkan film. Sejauh ini memang belum ada kerja sama demikian.

"Tapi ini salah satu tools untuk dapat pendapatan," ujar Andra. "Tapi kita belum mengarah ke sana karena belum selesai albumnya," lanjutnya. Selepas merilis Rasuk pada 2009, band yang kini beranggotakan Remedy, Andra, Tyo Prasetya (bass), Charita Utamy (background vocals) dan Hertri Nur Pamungkas (drums) ini berencana merilis album berikut pada tahun ini.

Waktu peluncuran belum diketahui. Tapi yang pasti, kata Remedy, materi album sudah pungkas. "Secepatnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement