Jumat 03 Jun 2016 09:20 WIB

Menikmati Kopi 'Pungut' Toratima

Rep: Pryantono Oemar/ Red: Indira Rezkisari
Kopi toratima yang sedang disangrai.
Foto:
Mawar, petani kopi subetnis uma-kulawi bersama Fadlun Saus dari subetnis jaton-minahasa menikmati kopi toratima di kebun Mawar.

‘’Kami di sini, biasa minum kopi tiga kali sehari,’’ ujar Mawar. Pagi hari sebelum berangkat kerja, siang hari saat makan siang, dan sore hari sebelum matahari tenggelam. Minum kopi toratima, kata Mawar, sakit kepala hilang.

Setelah tanaman kopi di Pipikoro tergeser oleh kakao, petani Pipikoro tak lagi menjadikan kopi sebagai andalan. Walhasil, kopi hanya dipakai untuk kebutuhan sendiri. Khusus kopi toratima, disajikan juga untuk tamu dan acara-acara adat.

Bagi masyarakat Pipikoro, kopi tortima telah menjadi bagian dari tradisi memelihara persaudaraan, tradisi menikmati waktu-waktu komunal yang istimewa, dan tradisi menikmati citarasa yang otentik.

Setelah menempuh perjalanan tiga jam naik ojek melalui jalan setapak di sisi tebing dan jurang, kopi toratima menjadi suguhan sebelum kami mandi. Jarum jam menunjuk setengah enam sore ketika kami tiba di rumah Sekretaris Desa Mapahi, Musa M Pasa.

Kini, Pemkab Sigi bersama lembaga swadaya masyarakat mencoba mengembangkan lagi kopi di Sigi. Melalui program pengelolaan hutan desa dan hutan kemasyarakatan, kebun kopi diperhatikan lagi. Wakil Bupati Sigi Paulina mengaku juga tengah mencari lahan baru untuk pembukaan kebun baru. ‘’Di Pipikoro dan Palolo ada lahan yang bisa dimanfaatkan untuk kebun kopi baru,’’ ujar Paulina.

Maret lalu, masyarakat di Peana, ibu kota Kecamatan Pipikoro, diadakan Festival Kopi. Toratima menjadi andalan. Dari Mapahi, jarak ke Peana mencapai mencapai 29 km ditempuh dengan motor lewat jalan tanah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement