Jumat 03 Jun 2016 09:20 WIB

Menikmati Kopi 'Pungut' Toratima

Rep: Pryantono Oemar/ Red: Indira Rezkisari
Kopi toratima yang sedang disangrai.
Foto: Republika/Pryantono Oemar
Kopi toratima yang sedang disangrai.

REPUBLIKA.CO.ID, Yonatan Tari mengajak kami ke kebun ketika kami sudah berkumpul di rumahnya, Jumat (13/5) pagi. ‘’Habis dari kebun baru kita minum kopi toratima,’’ ujar Yonatan, petani kopi di Pelempea, Kecamatan Pipikoro, pedalaman Kabupaten Sigi, di pinggir Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.

Mendengar informasi minum kopinya di rumah Yonatan, saya memberi usul. ‘’Kayaknya lebih asyik minum kopinya di kebun.’’ Teman-teman lain, sambil bercanda memprotes usulan saya. “’Bikin repot saja.’’

Iya, bisa jadi memang membuat repot. Sebab untuk mencapai kebun kopi Yonatan, kami harus naik motor lagi melalui jalan tanah yang turun naik. Di tengah perjalanan, menyaksikan pemandangan yang mengasyikkan, saya meminta tukang ojek yang membawa saya berhenti sebentar untuk berfoto-foto. Pemandangan perkampungan yang berada di bungi, bekas sungai yang sudah mongering yang dijadikan pekampungan atau sawah.

Tiba di kebun kopi, Yonatan langsung turun ke lereng, memperlihatkan tanaman kopi yang sedang berbuah. Satu-dua buah sudah mulai matang. ‘’Juni nanti mulai panen,’’ ujar Yonatan.

Tanaman kopi yang rapat di antara tegakan kayu di lereng hutan kemasyarakatan, membuat dan-daun kopi berdempetan antara satu pohon dengan pohon lainnya. Merunduk di bawah tanaman kopi, terasa sejuk. Dengan cara berunduk dan jongkok, petani perempaun bertugas memungut biji kopi yang jatuh.

‘’Buah kopi yang sudah masak dimakan tupai kelelawar atau tangali, kulitnya dimakan, bijinya dibuang, biji yang dibuang itulah yang dipungut,’’ ujar Mawar, istri Yonatan.

 

Minum Kopi di Kebun

Jika sudah musim panen, Mawar bisa memungut biji kopi mencapai empat kilogram dari pukul 08.00 hingga pukul 14.00. Binatang-binatang itu akan memilih buah kopi matang yang bagus untuk dimakan kulitnya, lalu melepeh bijinya.

Kopi yang dipungut itulah yang kini sedang dikembangkan di Sigi. Namanya toratima. ‘’Tima artinya memungut, tora artinya dipungut,’’ ujar Yonatan, petani kopi yang mantan kepala desa Mapahi itu.

Tapi tak semua sabar memungutnya karena harus merangkak dan mengais dedaunan di bawah rimbunnya pohon kopi. Sibulon Soli, petani kopi di Desa Pelempea, mengaku membiarkankannya. Alasan Sibulon, karena sudah terlambat panen, akibat lebih banyak mengurus kakao.

Naik lagi menuju jalan di atas lereng kebun Yonatan, Mawar terlihat asyik menuangkan kopi toratima dari termosnya. Ia membawa tiga termos, yang diwadahi baki, keranjang berupa anyaman daun pandan hutan yang bisa dibawa perempuan Pipikoro ke ladang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement