Jumat 03 Jun 2016 09:20 WIB

Menikmati Kopi 'Pungut' Toratima

Rep: Pryantono Oemar/ Red: Indira Rezkisari
Kopi toratima yang sedang disangrai.
Foto:
Tea Marlini dan Gladi Hardiyanto, dari Jakarta, menikmati kopi toratima di kebun kopi.

Ketika saya menanyakan kopi toratima sebelum makan siang sepulang dari kebun Yonatan, Sekretaris Desa Mapahi Musa M Pasa lebih meminta saya makan terlebih dulu. ‘’Kalau sudah makan nanti lebih leluasa,’’ujar Musa.

Makan dengan wako pun saya percepat karena tidak sabar menunggu kopi toratima diolah. ‘’Kalau mau bawa biji, adanya yang dipetik, bukan yang ditima,’’ ujar Evangline saat saya menanyakannya sebelum makan siang.

Sehabis makan, saya pun buru-buru ke dapur, melihat Agustina menyangrai kopi toratima. Saya berharap bisa membawa biji kopi yang disangrai itu, karena rombongan sudah berkemas hendak meninggalkan Mapahi. ‘’Sekalian ditumbuk saja, cepat kok,’’ kata Agustina.

Agustina sibuk menyelesaikan sangrainya. ‘’Diuntui bina sohitaha,’’ ujar dia sambil menyorongkan kayu-kayu bakar. Maksudnya ‘’diberi api yang banyak biar cepat masak’’.

Evangline sibuk menyiapkan lumpang. Setelah disangrai, biji-biji kopi dituang ke lumpang untuk ditumbuk. ‘’Kalau digiling aromanya hilang,’’ kata Evangline.

Masyarakat Pipikoro memilih menumbuk kopi toratima daripada menggilingnya. Karena, kata Evangline, tumbukan membuat aroma kopi tetap tersimpan dalam bubuk kopi. Yonatan Pasa memberi saya bungkus kemasan bertuliskan Toratima Coffee untuk mengemas bubuk kopi hasil olahan Evangline dan Agustina.

‘’Kemasan sisa Festival Kopi Maret lalu,’’ ujar sekretaris Hutan Kemasyakaratan (HKm) Mapahi itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement