REPUBLIKA.CO.ID, Gumoh merupakan hal yang paling sering dialami bayi. Di Indonesia bahkan 70 persen bayi kerap mengalami gumoh.
Dalam bahasa kedokteran, gumoh dikenal dengan istilah regurgitasi. Yaitu, adanya aliran isi lambung ke faring dan mulut. Yang paling mudah terlihat adalah keluarnya kembali ASI atau susu formula setelah anak mengonsumsinya.
Menurut dokter anak, Prof Muhammad Juffrie, regurgitasi merupakan gejala karakteristik reflux pada bayi. Prevalensi gumoh 41 persen terjadi pada bayi berusia tiga sampai empat bulan. Dan, kurang dari lima persen terjadi pada usia 13 sampai 14 bulan.
"Hal ini normal terjadi pada bayi. Lama-kelamaan akan menurun intensitasnya. Saat anak berusia enam bulan, turun separuhnya. Setelah setahun gumoh akan hilang," katanya menjelaskan, dalam 'Bincang Ahli dengan Dokter Anak Pentingnya Kesehatan Pencernaan Pada Bayi' di Jakarta, Selasa (25/11).
Ia menambahkan bayi yang mengalami gumoh selama 90 hari pada dua tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala gastroesophageal reflux (GER) pada usia sembilan tahun.
Lalu bagaimana mengatasi gumoh pada bayi? Juffrie menjelaskan hal pertama yang dilakukan adalah meyakinkan diri sebagai orang tua bahwa gumoh adalah gejala fisiologis. Lalu orang tua bisa mengangkat anak dengan posisi tegak 30 sampai 40 derajat atau miring ke kiri.
Selain itu, orang tua jangan memberi makan terlalu banyak. Teruskan memberi ASI. ASI memang penting, namun kalau anak masih sakit, jangan dibiarkan sakit. Bisa berikan anak susu formula jika perlu. Bahkan ASI dan susu formula bisa dikentalkan.
"Misalnya ASI dicampur dengan tepung, agar menjadi lebih berat dan sulit untuk dikeluarkan kembali melalui mulut," ujarnya.