REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anemia defisiensi besi masih menjadi salah satu masalah gizi yang kerap terjadi tanpa disadari (silent disease) dan berdampak besar pada kualitas hidup anak. Kondisi ini merupakan tantangan serius bagi Indonesia, terutama karena anemia berkontribusi terhadap tingginya angka stunting. SKI 2023 menunjukan satu dari empat anak Indonesia mengalami anemia, yang menjadi salah satu penyebab yang mendasari keterlambatan pertumbuhan serta perkembangan otak anak.
Anemia defisiensi besi merupakan kondisi ketika tubuh kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk membentuk hemoglobin, yaitu protein penting dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Bila dibiarkan, kondisi ini dapat menghambat tumbuh kembang anak, menurunkan daya tahan tubuh, hingga memengaruhi kecerdasan dan prestasi belajar.
Menurut Dokter Spesialis Anak RS Bethesda Yogyakarta, dr Devie Kristiani, SpA, gejala anemia defisiensi besi sering kali tidak disadari pada tahap awal. Anak mungkin tampak pucat, mudah lelah, lesu, atau kurang aktif. Gejala lain yang perlu diwaspadai meliputi berat badan sulit naik, pertumbuhan terlambat, penurunan nafsu makan, hingga kebiasaan pica (memakan benda bukan makanan seperti tanah atau es batu).
“Anemia defisiensi besi bukan sekadar masalah kurang darah. Kondisi ini berdampak langsung pada perkembangan saraf dan otak. Studi menunjukkan bahwa anak dengan anemia defisiensi besi memiliki skor kognitif, kemampuan psikomotor, serta konsentrasi yang lebih rendah dibanding anak dengan kadar zat besi yang cukup. Hal ini berpengaruh pada kesiapan mereka belajar di sekolah dan performa akademik dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk memastikan anak mendapatkan kecukupan zat besi dimulai dari periode ASI Ekslusif untuk memenuhi kecukupan zat besi pada awal tahap kehidupannya,” kata dr Devie, dikutip dari siaran pers, Jumat (28/11/2025).
Kekurangan zat besi pada anak umumnya disebabkan oleh asupan makanan yang rendah zat besi, penyerapan zat besi yang tidak optimal, atau kehilangan darah akibat infeksi kronis. Beberapa kelompok anak memiliki risiko lebih tinggi, seperti bayi prematur, anak dengan ibu yang mengalami anemia selama kehamilan, serta anak yang mengonsumsi MPASI (Makanan Pendukung Air Susu Ibu) rendah zat besi.
Faktor gaya hidup juga turut berkontribusi. Konsumsi teh, kopi, atau coklat dapat menghambat penyerapan zat besi di usus. Sebaliknya, penyerapan dapat ditingkatkan melalui konsumsi vitamin C dan susu pertumbuhan yang difortifikasi zat besi. “Dalam pencegahan anemia defisiensi besi, dibutuhkan tindakan preventif dimulai dari rutin melakukan pengecekan status kecukupan zat besi dengan skrining atau deteksi dini dan mencukupi kebutuhan nutrisi yang kaya akan zat besi. Selain itu, konsumsi vitamin C membantu meningkatkan penyerapan zat besi hingga dua kali lipat. Di sisi lain, susu pertumbuhan yang difortifikasi dapat menjadi pilihan pelengkap nutrisi harian mendukung kecukupan zat besi anak,” kata dr Devie.
Anemia defisiensi besi sebenarnya dapat dicegah dan diatasi melalui langkah-langkah sederhana seperti mengombinasikan makanan sumber zat besi dengan sumber vitamin C (jeruk, stroberi, tomat) untuk meningkatkan penyerapan. Lalu memberikan suplemen zat besi sesuai rekomendasi tenaga kesehatan, terutama bagi anak prematur atau berisiko tinggi, mengurangi konsumsi teh, kopi, atau coklat bersamaan dengan waktu makan.
Kemudian memastikan kecukupan nutrisi sehari-hari, bila perlu dukung dengan susu pertumbuhan yang difortifikasi zat besi. Serta melakukan konsultasi secara rutin dengan dokter untuk memantau kecukupan nutrisi anak.
Selain itu orang tua juga bisa memantau kecukupan zat besi anak dalam bentuk alat bantu digital ‘Kalkulator Zat Besi’ yang tersedia melalui platform seperti Alfagift dan website generasimaju.co.id. Alat ini membantu orang tua menghitung kebutuhan zat besi harian anak dan melakukan deteksi awal terhadap risiko anemia defisiensi besi.
Medical & Scientific Affairs Director Sarihusada, dr Ray Wagiu Basrowi, MKK, mengatakan selain inovasi produk dan komitmen pada penelitian berkelanjutan, Sarihusada juga mengembangkan perangkat yang membantu orang tua. “Deteksi dan intervensi dini menjadi kunci dalam mencegah anemia defisiensi besi. Dengan asupan nutrisi yang tepat, pemantauan rutin, dan edukasi berkelanjutan, kita bisa membantu anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan mencapai potensi maksimal mereka,” katanya.