REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai memiliki potensi besar sebagai instrumen vital dalam upaya meningkatkan status gizi dan kesehatan anak-anak Indonesia. Namun implementasinya memerlukan evaluasi berkelanjutan agar manfaatnya dapat tercapai secara optimal.
Menurut ahli gizi Mochammad Rizal, program ini bukan sekadar bantuan konsumsi harian, melainkan sebuah investasi jangka panjang yang sangat krusial dalam mencetak generasi berkualitas, khususnya dalam menyongsong visi besar Indonesia Emas 2045. "Dalam jangka pendek yang bisa kita saksikan adalah peningkatan status gizi dan kesehatan anak akan meningkat, seperti misalnya penurunan angka anemia. Anak-anak yang tumbuh sehat hari ini, kelak akan melahirkan generasi yang bebas stunting," ujar Rizal di Jakarta pada Ahad (2/10/2025).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Selain peningkatan taraf kesehatan dan status gizi, hal lain yang menjadi harapan dari MBG adalah dapat memotivasi anak untuk semangat datang ke sekolah. Dengan perut terisi makanan bergizi, konsentrasi belajar diharapkan meningkat. Tidak berhenti sampai di sana, program tersebut juga diharapkan mampu mendongkrak produktivitas rantai pasok pangan lokal, seperti petani, nelayan, dan katering lokal.
Meski begitu, implementasi MBG di lapangan tidak lepas dari berbagai tantangan yang kompleks. Kebiasaan makan anak sekarang yang terbiasa mengonsumsi Ultra Processed Food (UPF) seperti snack, permen, serta makanan tinggi gula, garam, dan lemak menjadi tantangan.
"Menu MBG yang ideal justru berisiko tinggi tidak dihabiskan (food waste). Sebaliknya, memberikan menu berbasis UPF seperti nugget ataupun sosis, agar makanan habis, justru mengalihkan tujuan utama pemenuhan gizi dari program ini. Perlu strategi bertahap untuk mengubah perilaku makan siswa saat ini," kata pria yang tengah menempuh studi PhD di bidang International Nutrition, Cornell University, New York, Amerika Serikat itu.
Untuk mengukur adanya perubahan perilaku pola makan sehat di sekolah, perlu dilakukan evaluasi makanan yang habis atau tidak habis dikonsumsi secara berkala. Selain itu sekolah juga diharapkan mengumpulkan data jumlah makanan tidak layak konsumsi, hingga pelaporan jumlah kejadian tak terduga, termasuk insiden keamanan pangan yang terjadi di sekolah. Panduan evaluasi ini tertuang dalam Panduan Implementasi Program MBG di Satuan Pendidikan yang disusun Kemendikdasmen.
Selain itu, dalam upaya mengukur dampak MBG, sekolah diimbau untuk melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, serta indeks massa tubuh siswa setiap enam bulan sekali. Tidak hanya itu, sekolah juga diwajibkan mengukur perubahan perilaku siswa tentang gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah.
Melalui panduan tersebut, harapannya pengumpulan data yang komprehensif seperti data jumlah penerima manfaat, data menu MBG, data food waste, dan status gizi sebelum dan setelah MBG berjalan menjadi basis data sangat penting untuk evaluasi kebijakan. Peran ahli gizi dalam program itu pun menjadi sangat krusial, baik untuk memastikan gizi seimbang maupun keamanan pangan terimplementasi dengan baik. Namun, beban kerja yang tidak ideal menjadi tantangan yang perlu segera diperbaiki.
"Sejauh yang saya dengar dengan rasio satu ahli gizi untuk memantau 3.000-4.000 porsi itu sangat berat. Beban ini berpeluang membuat terjadinya insiden keamanan pangan. Namun regulasi baru yang saya dengar telah membatasi produksi maksimal 2.000 porsi pada Satuan Penyediaan Pangan Bergizi (SPPG). Ini adalah langkah perbaikan yang baik, karena bisa mengurangi beban kerja dan risiko keamanan pangan," ujar Rizal.
Tidak hanya itu, MBG perlu diintegrasikan dengan edukasi gizi kepada anak dan keluarga. Di luar menyiapkan menu MBG, peran ahli gizi untuk mengedukasi siswa menjadi penting. Dengan begitu pemahaman yang baik tentang pola makan dan gizi seimbang bisa terbangun
"Ini program baru sehingga masih banyak tantangan yang perlu dibenahi, termasuk memberikan masukan yang baik sangat dibutuhkan," kata Rizal.