REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian jantung mendadak atau sudden cardiac death (SCD) merupakan ancaman serius yang sering kali datang tanpa peringatan. Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI) / Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), dr Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), FIHA, mengingatkan pentingnya kesadaran dan tindakan proaktif dari masyarakat.
“Periksa tekanan darah, kadar gula, dan kolesterol minimal setahun sekali. Bila ada riwayat keluarga meninggal mendadak di usia muda, jantung berdebar, atau pingsan tanpa sebab jelas, maka orang tersebut harus segera konsultasi ke dokter jantung,” katanya dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (12/11/2025).
Ia mengatakan fenomena kematian jantung mendadak menjadi salah satu masalah kardiovaskular serius. Kasus ini menyumbang sekitar 10 hingga 15 persen dari seluruh kematian global setiap tahunnya akibat gangguan irama jantung yang sering tidak terdeteksi sebelumnya.
Secara global, insiden SCD pada populasi umum diperkirakan mencapai 40–100 kasus per 100 ribu orang per tahun. Agung mengatakan meskipun angka kematian sempat menurun antara 1999 hingga 2018, data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan sejak 2018, menandakan bahwa tantangan ini masih jauh dari selesai.
“Laki-laki tercatat memiliki risiko lebih tinggi dibanding perempuan, dengan perbandingan angka mortalitas 5,23 berbanding 2,71,” ujar dr Agung.
Agung mengatakan, mengenali tanda-tanda gangguan irama jantung sangat penting diketahui seperti nyeri dada, sesak, mudah lelah, atau detak jantung yang tidak teratur. Jika merasa ada kelainan, maka pemeriksaan lanjutan seperti EKG, ekokardiografi, atau Holter monitoring mungkin perlu juga dilakukan.
Ia juga menekankan melakukan gaya hidup sehat tetap menjadi kunci, seperti berhenti merokok, rutin berolahraga, tidur cukup, dan mengelola stres bisa menurunkan risiko secara signifikan. Berdasarkan jaringan Pan-Asian Resuscitation Outcome Study (PAROS), tingkat kelangsungan hidup henti jantung di luar rumah sakit (Out-of-hospital cardiac arrest/OHCA) di kawasan Asia rata-rata hanya sekitar 4–6 persen, jauh di bawah angka di negara-negara Barat.
Ini menunjukkan pentingnya sistem tanggap darurat yang kuat dan edukasi publik agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan ketika seseorang mengalami henti jantung. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pemahaman masyarakat mengenai bantuan hidup dasar (BHD) seperti resusitasi jantung paru (RJP, atau cardiopulmonary resuscitation (CPR)).
“Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit/OHCA, setiap menit tanpa CPR menurunkan peluang hidup secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CPR oleh bystander CPR (penolong/orang di sekitar pasien) dapat meningkatkan peluang hidup tiga hingga empat kali lipat, sedangkan penggunaan AED (Automated External Defibrillator) oleh masyarakat bisa meningkatkan peluang hidup hingga lima kali lipat,” kata dr Agung.
Ia pun memberikan beberapa langkah praktis yang bisa diingat masyarakat ketika menemui seseorang dengan henti jantung seperti kenali tanda henti jantung yaitu korban tidak responsif dan tidak bernapas normal, segera hubungi 112 atau 119. Sambil menunggu bisa mulai kompresi dada di bagian tengah, keras dan cepat dengan hitungan 100–120 kali per menit dan kedalaman 5–6 cm, jika tersedia gunakan AED dan ikuti instruksi alat, lanjutkan sampai petugas medis datang atau korban kembali sadar.
“Bantuan sederhana yang dilakukan dengan cepat bisa menentukan antara hidup dan mati pasien tersebut,” kata dr Agung.
View this post on Instagram