REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Alergi susu sapi (ASS) menjadi salah satu tantangan kesehatan yang cukup sering dijumpai pada anak. Meski terdengar sepele, gejala yang muncul sering kali menyerupai kondisi ringan seperti flu, kolik, atau gangguan pencernaan biasa, sehingga kerap tidak disadari oleh orang tua. Padahal, keterlambatan diagnosis bisa berdampak serius pada tumbuh kembang anak.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, angka kejadian alergi susu sapi di Tanah Air mencapai 2–7,5 persen pada anak, lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang berkisar 2–3 persen. Kondisi ini dapat mengganggu penyerapan nutrisi penting, memicu kekurangan gizi, dan akhirnya berpengaruh pada perkembangan fisik maupun kognitif anak.
Dokter spesialis anak, dr Tiara Nien Paramita, menjelaskan banyak orang tua belum memahami tanda-tanda awal alergi susu sapi. Beberapa gejala yang perlu diperhatikan antara lain:
-Ruam: Kulit kemerahan dan gatal yang muncul tiba-tiba setelah anak mengonsumsi susu atau produk berbahan susu.
-Eksim: Kulit kering, bersisik, dan sulit sembuh.
-Muntah: Muntah berulang setelah konsumsi susu atau produk susu.
-Gangguan BAB: Pencernaan tidak teratur atau bahkan muncul darah pada feses akibat iritasi saluran cerna.
“Tanda-tanda seperti ini sering dianggap masalah ringan, padahal bisa menjadi sinyal awal alergi susu sapi,” ujar dr Tiara dalam talkshow "Bicara Gizi" pada Senin (20/10/2025).
Ia mengatakan, setiap anak memiliki kondisi alergi yang berbeda, sehingga konsultasi dengan dokter anak menjadi langkah penting agar diagnosis tidak keliru.
Untuk memastikan diagnosis, dokter biasanya menggunakan metode eliminasi dan provokasi. Tahap pertama dilakukan dengan menghentikan konsumsi protein susu sapi selama satu hingga empat pekan. Jika gejala hilang, maka dilakukan tahap provokasi, yaitu memberikan kembali protein susu sapi secara hati-hati untuk melihat apakah gejala muncul kembali.
Proses ini membantu memastikan apakah benar anak mengalami alergi susu sapi atau tidak. Dr Tiara juga menambahkan pentingnya orang tua untuk mencatat setiap gejala yang muncul.
“Catat waktunya, apa yang dikonsumsi sebelumnya, dan bagaimana reaksi anak. Catatan ini akan sangat membantu dokter menentukan diagnosis yang akurat,” ujarnya.
Menurut Medical & Scientific Affairs Director Danone Indonesia, Dr dr Ray Wagiu Basrowi, penting bagi orang tua untuk tidak hanya mengandalkan informasi dari internet, karena setiap anak memiliki kondisi alergi yang berbeda. “Konsultasi dengan dokter anak tetap menjadi langkah paling penting agar diagnosis bisa ditegakkan dengan tepat,” kata dr Ray.
Tidak hanya berpengaruh secara fisik, alergi susu sapi juga berdampak pada kondisi emosional keluarga. Dia menyebut alergi susu sapi bukan sekadar masalah pencernaan atau ruam ringan, melainkan kondisi kompleks yang bisa berdampak panjang terhadap pertumbuhan, kualitas hidup, hingga kondisi psikologis dan ekonomi keluarga. “Banyak anak yang alerginya tidak ditangani dengan benar sejak awal akhirnya mengalami gangguan pertumbuhan. Kalau sudah begitu, bukan hanya anak yang terdampak, tapi seluruh keluarga,” ujar dr Ray.
Anak dengan riwayat keluarga alergi memiliki risiko lebih tinggi mengalami alergi susu sapi. Karena itu, mengenali tanda sekecil apa pun sangat penting. Proses diagnosis yang sering memerlukan waktu dapat berjalan lebih cepat jika orang tua peka terhadap gejala awal.
Dengan deteksi dini, konsultasi rutin ke dokter anak, serta pemilihan nutrisi yang sesuai, anak dengan alergi susu sapi tetap bisa tumbuh sehat dan berkembang optimal. Sebab, penanganan yang tepat bukan hanya soal mengganti susu, tetapi juga tentang memastikan setiap tetes nutrisi yang dikonsumsi anak benar-benar mendukung masa depan tumbuh kembangnya.
View this post on Instagram