REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi kebanyakan orang dewasa atau anak yang lebih besar, Respiratory Syncytial Virus (RSV) mungkin hanya terasa seperti flu biasa yang berlalu cepat. Namun, bagi kelompok yang paling rentan, terutama bayi prematur, RSV adalah musuh senyap yang berpotensi fatal dan dapat meninggalkan jejak kerusakan jangka panjang pada paru-paru mereka.
Indonesia memikul beban besar dalam masalah ini. Dengan lebih dari 675 ribu bayi lahir prematur setiap tahun, Indonesia berada di peringkat ke-5 dunia dengan angka kelahiran prematur tertinggi. Bayi-bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu ini datang ke dunia dengan kondisi yang belum sempurna. Hal ini bukan hanya soal ukuran tubuh; ini adalah masalah serius pada sistem vital mereka.
Dokter spesialis anak subspesialis neonatologi, Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A, Subsp. Neo., menjelaskan mengapa bayi prematur begitu rentan terhadap serangan RSV. Dia menyebut bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi karena paru-parunya belum berkembang sempurna. Selain itu, bayi prematur juga belum sempat menerima transfer antibodi pelindung dari ibunya secara optimal selama masa kehamilan, sehingga sistem kekebalan tubuh mereka masih sangat lemah dan rentan terhadap berbagai infeksi. "Dibandingkan bayi cukup bulan, mereka memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lebih besar untuk dirawat di rumah sakit akibat infeksi RSV pada tahun pertama kehidupannya. Infeksi ini sering kali berkembang dengan cepat dan dapat memerlukan perawatan yang lebih lama serta intensif,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Senin (24/11/2025).
Statistik menunjukkan bahwa RSV adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, menyumbang sekitar 60-80 persen kasus bronkiolitis dan 30 persen kasus pneumonia pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia. Bahkan, salah satu studi mengkhawatirkan mencatat bahwa diperkirakan satu dari 10 bayi di Indonesia meninggal karena infeksi saluran napas bawah akibat RSV.
Masalah utama RSV adalah gejalanya yang menipu di awal. Gejala awal seringkali mirip flu biasa seperti pilek, bersin, dan batuk ringan. Inilah yang membuat orang tua sering menganggapnya sepele. Padahal, pada bayi berisiko tinggi, infeksi ini dapat berkembang sangat cepat menjadi kesulitan bernapas yang parah, bahkan dapat meninggalkan dampak jangka panjang seperti peningkatan risiko asma, wheezing (mengi) kronis, dan penurunan fungsi paru-paru di kemudian hari.
Membedakan RSV dari penyakit pernapasan lain menjadi krusial. Dibandingkan dengan common cold atau flu biasa yang gejalanya lebih ringan atau Covid-19 yang sering disertai kehilangan indra penciuman, RSV pada bayi cenderung menyerang dengan batuk, demam ringan, wheezing, dan kesulitan bernapas yang dapat memburuk dengan cepat.