Sabtu 04 Oct 2025 22:19 WIB

Lolos dari Kekambuhan, Ini Strategi Jitu Perpanjang Masa Bebas Kanker Ovarium

Tingkat kekambuhan kanker ovarium tetap tinggi dalam tiga tahun pertama.

Dokter spesialis obstetri dan ginekologi konsultan onkologi, dr Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk dalam dalam acara edukasi bertajuk Mengenal Kanker Ovarium dan Terapi Inovatifnya.
Foto: Dok. AstraZeneca
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi konsultan onkologi, dr Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk dalam dalam acara edukasi bertajuk Mengenal Kanker Ovarium dan Terapi Inovatifnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker ovarium masih menjadi masalah kesehatan kompleks dan serius bagi perempuan di Indonesia. Tantangan terbesar terletak pada gejala awal yang tidak spesifik, yang berakibat pada mayoritas pasien baru terdiagnosis pada stadium lanjut. Bahkan setelah melewati serangkaian pengobatan agresif berupa operasi dan kemoterapi, tingkat kekambuhan kanker ovarium tetap tinggi dalam tiga tahun pertama.

Kondisi ini secara tegas menunjukkan perlunya rangkaian penanganan dan terapi yang terintegrasi, mulai dari fase awal diagnosis hingga pengobatan lanjutan. Keberhasilan penanganan kanker ovarium sangat bergantung pada beberapa langkah yang saling melengkapi. Langkah terpenting adalah pembedahan yang menerapkan prinsip zero residu yaitu tidak ada sisa tumor yang tampak, yang secara klinis terbukti meningkatkan median kelangsungan hidup pasien.

Baca Juga

Setelah operasi, pasien harus disiplin menjalani kemoterapi sesuai interval yang ditentukan untuk menjaga efektivitas pengobatan. Sayangnya, bagi pasien kanker ovarium stadium lanjut, fase remisi pasca pengobatan awal seringkali singkat, menuntut pasien untuk kembali menjalani kemoterapi berulang dengan peluang remisi yang lebih pendek dan risiko kematian yang lebih tinggi.

Dokter spesialis obstetri dan ginekologi konsultan onkologi, dr Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk, mengatakan mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4 akibat gejala awal yang tidak spesifik dan belum adanya metode skrining yang efektif. "Risiko kekambuhan setelah kemoterapi awal pun sangat tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran pasien terhadap proses pengobatan lanjutan sangatlah penting agar penanganan dapat dilakukan secara tepat,” ujarnya dalam acara edukasi bertajuk “Mengenal Kanker Ovarium dan Terapi Inovatifnya”.

Menanggapi tingginya risiko kekambuhan, panduan internasional seperti ESMO dan NCCN kini merekomendasikan pemeriksaan genetik HRD (Homologous Recombination Deficiency) dan BRCA (Breast Cancer gene 1 dan 2) dilakukan sedini mungkin setelah operasi. Pemeriksaan ini krusial karena menjadi penentu kelayakan pasien menerima terapi lanjutan. Terapi lanjutan sendiri telah menjadi bagian integral dan standar perawatan yang direkomendasikan untuk kanker ovarium stadium lanjut.

Salah satu inovasi dalam terapi lanjutan adalah pemanfaatan PARP (Poly ADP-Ribose Polymerase) inhibitor, seperti Olaparib. Sekitar 50 persen pasien kanker ovarium stadium lanjut memiliki status HRD-positif, termasuk yang tidak memiliki mutasi BRCA. HRD, yaitu kondisi di mana tubuh tidak mampu memperbaiki kerusakan pada DNA, menjadi penanda biologis (biomarker) vital untuk menentukan apakah pasien layak menerima maintenance therapy berbasis PARP inhibitor.

Data klinis global menegaskan manfaat signifikan dari terapi lanjutan ini. Studi PAOLA-1 menunjukkan bahwa pasien HRD-positif yang menerima maintenance therapy Olaparib dikombinasikan dengan Bevacizumab memiliki masa bebas penyakit hingga 37 bulan, yang hampir dua kali lebih lama dibandingkan terapi dengan Bevacizumab saja. Studi SOLO-1 membuktikan pasien dengan mutasi BRCA yang menggunakan Olaparib memiliki risiko progresi 70 persen lebih rendah, dan hampir setengahnya tetap dalam remisi setelah lima tahun pengobatan. 

Medical Director AstraZeneca Indonesia, dr Feddy, mengatakan akses terhadap pemeriksaan HRD dan terapi lanjutan bagi pasien kanker ovarium di Indonesia sangat penting. "Data klinis global telah membuktikan manfaat signifikan terapi ini dalam memperpanjang masa bebas penyakit. Kami berharap lebih banyak pasien di Indonesia dapat memperoleh manfaat dari maintenance therapy, sehingga kualitas hidup mereka semakin baik,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Sabtu (4/10/2025).

Selain dukungan medis, peran komunitas pasien juga dinilai fundamental. Komunitas seperti Cancer Information and Support Center (CISC), dengan dukungan dari AstraZeneca, aktif dalam memperluas edukasi mengenai pentingnya diagnosis dini, pemeriksaan HRD, dan akses terhadap maintenance therapy melalui berbagai sesi edukasi. Ketua Umum CISC Aryanthi Baramuli Putri mengatakan pasien dan penyintas tidak hanya membutuhkan akses terhadap terapi yang tepat, tetapi juga dukungan emosional dan informasi yang akurat. "Melalui CISC, kami berkomitmen menjadi wadah untuk berbagi dan belajar bersama, agar semakin banyak perempuan Indonesia memahami langkah-langkah yang dapat membantu mereka memperpanjang masa bebas penyakit kanker ovarium,” kata dia.

Penanganan kanker ovarium di masa depan menuntut kolaborasi lintas sektor. President Director AstraZeneca Indonesia, Esra Erkomay, mengatakan kolaborasi lintas sektor, khususnya dengan tenaga kesehatan dan komunitas pasien seperti CISC, sangat penting untuk memperluas edukasi mengenai kanker ovarium. "Kami tidak hanya ingin memperkuat kesadaran masyarakat tentang kanker ovarium, tetapi juga menunjukkan komitmen kami untuk terus berkontribusi dalam meningkatkan layanan kesehatan yang baik dan inovatif di Indonesia, termasuk meningkatkan kualitas hidup pasien, serta mendorong terciptanya ekosistem pendampingan yang lebih kuat bagi pasien maupun keluarga,” kata dia.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ameera Network (@ameeranetwork)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement