REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sering kali, perilaku remaja yang bergejolak seperti mudah marah, menarik diri, atau sedih berlarut-larut dianggap sebagai bagian normal dari fase pubertas. Anggapan ini membuat banyak masalah serius terlewatkan pada diri remaja.
Padahal, menurut Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp.Kardio(K), apa yang tampak di permukaan bisa jadi merupakan gejala gangguan mental yang lebih serius dan membutuhkan penanganan khusus. "Banyak masalah remaja ini sering disalahartikan sebagai sekadar masalah perlawanan sesaat akibat pubertas," ujar dr Piprim dalam seminar daring bertajuk “Kesehatan Mental pada Remaja” pada Selasa (19/8/2025).
Dia menekankan bahwa gangguan mental pada remaja adalah hal yang serius dan membutuhkan deteksi dini serta solusi yang komprehensif. Masalah-masalah seperti depresi, kecemasan, bahkan keinginan untuk melukai diri sendiri atau bunuh diri, bukanlah hal yang sepele dan harus segera mendapat perhatian.
Dia menyampaikan, data menunjukkan bahwa prevalensi masalah kesehatan mental pada remaja di Indonesia cukup tinggi, mencapai 30-35 persen. Angka ini mencakup berbagai kondisi, dari kecemasan hingga perilaku agresif. Sayangnya, banyak kasus tidak terdeteksi karena dianggap sebagai fase kenakalan atau emosi labil biasa.
Anggota Satgas Remaja IDAI, dr Braghmandita Widya Indraswari, M.Sc, Sp.A,Subsp.T.K.P.S(K), mengatakan faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan mental remaja sangat kompleks.
Dia membaginya menjadi tiga aspek utama yakni biologis, psikologis, dan lingkungan. Aspek biologis mencakup genetika, status nutrisi, dan kondisi fisik, seperti penyakit hormon. "Remaja-remaja yang memiliki penyakit hormon ini lebih rentan untuk mengalami masalah terkait kesehatan mental," kata dia.
Secara psikologis, kemampuan mengelola emosi yang buruk sejak masa kanak-kanak juga menjadi faktor penentu. Namun, faktor lingkungan memegang peranan paling penting. Lingkungan yang tidak mendukung, baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat, dapat menjadi pemicu utama.
Kondisi seperti kekerasan, penelantaran, atau perundungan (bullying), baik dari teman sebaya maupun orang dewasa, dapat sangat memengaruhi kesehatan mental remaja. Dia menggambarkan hal ini sebagai "lingkaran setan" yang harus segera diputus rantainya.
Oleh karena itu, peran keluarga dan sekolah menjadi krusial. Keluarga harus menjadi ruang yang aman di mana remaja dapat terbuka tanpa rasa takut atau malu. Sementara itu, sekolah harus menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas dari diskriminasi. Dia menyoroti banyak remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, menjadikan guru sebagai garda terdepan dalam mendeteksi perubahan perilaku. Kolaborasi yang baik antara orang tua, guru, dan profesional kesehatan dinilai investasi penting. "Investasi kesehatan mental merupakan investasi masa depan," ujar dr Braghmandita.
