REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat 5-8 persen anak prasekolah mengalami speech delay atau keterlambatan bicara. Bahkan khusus di Jakarta, tercatat ada 21 persen anak yang mengalami masalah ini.
Dokter spesialis anak dr Fitri Hartanto menjelaskan keterlambatan bicara sering kali terjadi ketika anak tidak mendapatkan stimulasi positif yang memadai pada masa kritisnya atau periode 1.000 hari pertama kehidupan. Pada usia nol hingga dua tahun, perkembangan otak anak mencapai 80 persen dari kapasitas totalnya.
“Nah, bahayanya pada saat orang tua tidak memahami bahwa fase kritis itu terjadi di hanya 2 tahun pertama. Jika anak tidak mendapatkan stimulasi positif, tidak mendapat pola asuh yang baik, nutrisi yang cukup, maka itu akan berpengaruh pada perkembangan anak, di antaranya adalah bagaimana anak ini berkomunikasi,” kata dr Fitri dalam diskusi media secara daring di Jakarta, Selasa (15/10/2024).
Ia menjelaskan perkembangan otak anak, yang kemudian akan berpengaruh pada kemampuan komunikasinya, sangat ditentukan oleh beberapa faktor termasuk pemenuhan kebutuhan nutrisi, imunisasi, pola asuh yang tepat, pemenuhan kasih sayang dari orang tua, hingga pemberian stimulasi positif. Stimulasi positif dalam pengembangan bahasa anak berarti orang tua perlu secara aktif mengajak anak untuk berkomunikasi secara verbal.
Dokter Fitri mengatakan stimulasi dalam bentuk komunikasi verbal sejak lahir berperan besar dalam membentuk sirkuit otak yang mendukung kemampuan bahasa anak. “Jadi saat anak masih berusia satu bulan pun, ya dia harus diajak ngobrol. Walaupun anak belum tentu mengerti, tapi dia akan terlatih untuk memahami pola bahasa, suara, ritme, yang akan menjadi dasar kemampuan bicara di kemudian hari,” kata dokter Fitri.
Pada periode kritis ini, orang tua juga perlu menjauhkan anak dari paparan gawai. Dokter Fitri menjelaskan paparan gawai dan televisi termasuk pada stimulasi negatif yang dapat mengganggu perkembangan otak anak dan berisiko membuat anak mengalami keterlambatan berbicara.
Dr Fitri mengatakan mendeteksi dan menangani keterlambatan bicara pada periode ini akan jauh lebih efektif. Jika orang tua menunda penanganan atau invertensi hingga usia anak lebih dari dua tahun, upaya mengejar ketertinggalan bahasa menjadi lebih sulit karena otak anak sudah terbentuk dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
“Kalau misalnya orang tua menunda penanganan sampai usia anak lebih dari 2 tahun, itu kurang efektif karena hanya 15 persen sel otak yang berkembang. Apalagi jika orang tua menunda sampai anak usia 5 tahun, itu akan susah, karena hanya 5 persen sel otak yang bisa kita gunakan untuk mengejar keterlambatan bicara,” kata Fitri.