Kamis 29 Aug 2024 14:17 WIB

Cegah Gangguan Belajar, Dokter THT Imbau Orang Tua Cek Pendengaran Anak

Gangguan pedengaran dapat mengakibatkan adanya gangguan atensi dan komunikasi.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Seorang anak menutup telinga (ilustrasi). Menurut dokter, anak kelas 1 hingga 6 SD, atau yang mengalami gangguan belajar perlu ikut skrining pendengaran.
Foto: Dok. Freepik
Seorang anak menutup telinga (ilustrasi). Menurut dokter, anak kelas 1 hingga 6 SD, atau yang mengalami gangguan belajar perlu ikut skrining pendengaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter THT menyuarakan pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran. Anak-anak kelas 1 Sekolah Dasar (SD) diimbau mulai menjalani skrining pendengaran secara rutin. Tujuannya untuk mendeteksi dini potensi gangguan pendengaran yang dapat menghambat perkembangan akademik anak.

"Anak kelas 1 hingga 6 SD, atau yang mengalami gangguan belajar perlu ikut skrining pendengaran atau langsung dikonsultasikan ke dokter THT di puskesmas atau RSUD," kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI KL) Jakarta Raya Dr. dr. Tri Juda Airlangga, Sp.THTBKL, Subsp.Kom (K) dalam seminar daring yang diadakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Rabu (28/8/2024).

Baca Juga

Berdasarkan studi pada 2019 pada anak sekolah diketahui bahwa prevalensi gangguan pendengaran sebanyak 2 persen, dengan jenis gangguan pendengaran terbanyak tipe konduktif akibat kotoran telinga. "Dengan gangguan ini cukup bermakna yang mengakibatkan adanya gangguan atensi. Gangguan pendengaran walau derajat ringan bisa mengakibatkan gangguan atensi dan komunikasi. Kalau sudah (berlangsung) lama akademiknya akan turun," kata Airlangga.

Menurut dia, skrining pendengaran juga disarankan pada anak-anak yang mengalami gangguan dalam bicara dan tinggal kelas. Dia merujuk studi yang mengatakan bahwa kecenderungan anak-anak mengalami gangguan pendengaran pada nada tinggi dengan keluhan telinga sering berdenging.

"Setelah dengar suara pakai headphone, telinga berdengung. Itu gejala awal. Kalau terus-terusan, akan terjadi gangguan pendengaran permanen," ujar Airlangga.

Dalam kesempatan itu, Plt Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Maryati mengungkapkan di Indonesia prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia lima tahun ke atas bisa sampai 2,6 persen antara lain tidak bisa mendengar dan ada kotoran telinga keras yang sulit dibersihkan. Sementara itu, di DKI Jakarta, 10 kasus tertinggi terkait gangguan telinga antara lain terkait kotoran di telinga, telinga berair lalu gatal dan bunyi berdenging (tinitus) yang semuanya sangat mengganggu.

Maryati mengingatkan masyarakat bahwa gangguan pendengaran sangat menyebabkan tidak nyaman. Pada anak, kondisi ini bisa mengganggu porsi waktu mereka untuk belajar, bersosialisasi dan lainnya.

"Kalau ada gangguan merujuk anak ke puskesmas agar mendapatkan terapi sehingga tidak mengalami komplikasi. Petugas kesehatan di puskesmas dan rumah sakit sudah siap membantu anak agar sembuh," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement