REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wanita memiliki risiko lebih tinggi mengalami hipertensi pulmonal atau hipertensi paru. Ini adalah kondisi langka, di mana tekanan darah tinggi secara spesifik terjadi pada pembuluh darah arteri di paru-paru dan sisi kanan jantung.
Dokter spesialis jantung dan pemerhati hipertensi paru, dr Hary Sakti Muliawan, mengatakan perbandingan pasien hipertensi paru yaitu tujuh wanita berbanding tiga pria. Selain itu, kelompok berisiko lainnya adalah penderita kelainan jantung bawaan, pasien autoimun seperti lupus, penderita penyakit paru termasuk TBC dan asma, serta ibu hamil.
"Hipertensi paru itu sering kali tidak terdeteksi dini, karena masih banyak yang belum aware. Bukan hanya masyarakat awam, tak jarang tenaga medis juga tidak tahu soal penyakit ini. Jadi semoga dengan ini semakin banyak yang aware," kata dr Hary dalam diskusi media memperingati Bulan Kesadaran Hipertensi Paru di kawasan GBK, Kamis (27/11/2025).
Dia menekankan pentingnya mengenali gejala awal hipertensi paru. Antara lain merasa sesak napas bahkan saat aktivitas ringan seperti naik satu lantai tangga, kelelahan terus-menerus, nyeri dada berulang, batuk darah, pusing hingga pingsan, serta bengkak pada tubuh yang menandakan jantung tidak lagi mampu memompa darah dengan optimal.
"Kalau sudah engap dan bengkak-bengkak, biasanya kaki bengkak, bahkan sampai sebadan bengkak, itu sudah tahap lebih berat. Harus segera ditangani," kata dr Hary.
Sayangnya, menurut dr Hari, proses diagnosis hipertensi paru di berbagai negara termasuk Indonesia masih menjadi tantangan. Di Eropa, waktu rata-rata untuk diagnosis mencapai 15 bulan, sementara di Amerika Serikat 24 bulan.
"Di Indonesia saya enggak ada datanya, tapi kemungkinan lebih lama. Karena ada pasien di Indonesia yang baru terdiagnosis setelah lima tahun," kata dr Hary.