Selasa 09 Jan 2024 17:00 WIB

Jangan Beralih ke Vape, Dokter Ungkap Rokok Elektrik tak Bantu Berhenti Merokok

Rokok elektrik tidak penuhi syarat untuk modalitas berhenti merokok.

Vape alias rokok elektrik. Rokok elektrik juga menimbulkan ketagihan atau adiksi, sehingga tidak bisa dijadikan modalitas berhenti merokok.
Foto: www.freepik.com
Vape alias rokok elektrik. Rokok elektrik juga menimbulkan ketagihan atau adiksi, sehingga tidak bisa dijadikan modalitas berhenti merokok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mau berhenti merokok? Sebagian orang yang ingin terbebas dari kecanduan merokok memilih beralih ke rokok elektrik alias vape karena digadang lebih aman dan dapat menjadi transisi untuk berhenti total.

Faktanya ternyata tidak seperti yang sering dipromosikan produsen vape. Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR mengatakan rokok elektrik tidak memenuhi syarat untuk modalitas berhenti merokok, salah satunya tak menimbulkan risiko.

Baca Juga

"Sebuah modalitas untuk berhenti merokok itu tidak boleh dipakai kalau dapat menyebabkan risiko baru," kata Prof Agus dalam acara kesehatan yang digelar daring, Selasa (9/1/2024).

Faktanya, di Indonesia, rokok elektrik terbukti dapat menimbulkan bahaya kesehatan meskipun tidak ada kandungan TAR-nya. Rokok elektrik terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit paru, seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, pneumotoraks atau paru bocor dan kanker paru.

Selain itu, merujuk studi di luar negeri dan Indonesia, rokok elektrik juga menimbulkan ketagihan atau adiksi. Lebih lanjut, alasan rokok elektrik tidak bisa digunakan sebagai modalitas berhenti merokok ialah karena tidak memenuhi syarat untuk dapat membuat seseorang berhenti merokok konvensional.

Fakta di Indonesia menunjukkan adanya dual user atau multipengguna, yakni pengguna rokok konvensional sekaligus elektrik. Agus merujuk studi peneliti dari Universitas Indonesia pada 2019 menyebutkan sebanyak 61,5 persen mahasiswa merupakan dual user.

"Jadi, nomor satu syaratnya tidak terpenuhi, kalau dia (rokok elektrik) dipakai untuk berhenti merokok," kata Prof Agus.

Di sisi lain, rokok elektrik tidak hanya dipakai untuk terapi withdrawal saja. Menurut Prof Agus, di Indonesia, rokok elektrik bukan hanya dipakai untuk terapi withdrawal, tetapi juga digunakan terus-menerus.

Padahal, suatu syarat sebuah nicotine replacement therapy (NRT) atau terapi pengganti nikotin, yakni digunakan hanya untuk terapi withdrawal. Withdrawal ialah gejala putus nikotin akibat berhenti merokok. Selain itu, bukti ilmiah di berbagai jurnal memperlihatkan rokok elektrik tidak terbukti 100 persen dapat membantu berhenti merokok.

"Masih tidak konsisten kalau menurut WHO, mungkin 70 persen tidak berhasil, dari berbagai jurnal, oleh karena itu tidak terbukti efektif," tutur Prof Agus.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement