Senin 28 Aug 2023 16:18 WIB

Perundungan Remaja di Dunia Maya, Efek Beracun dari Medsos?

Internet dianggap menjadi panggung bagi penindasan kepada korban remaja.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Qommarria Rostanti
Perundungan remaja (ilustrasi). Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Medicine, internet ternyata menjadi panggung bagi perundungan kepada korban remaja.
Foto: Foto : MgRol_92
Perundungan remaja (ilustrasi). Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Medicine, internet ternyata menjadi panggung bagi perundungan kepada korban remaja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena perundungan di dunia maya terhadap remaja kembali menjadi sorotan. Sebagian orang menganggap hal itu terjadi sebagai dampak negatif dari interaksi daring. Benarkah demikian?

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Medicine, internet ternyata menjadi panggung bagi perundungan kepada korban remaja. Sebuah studi observasional telah menghadirkan informasi dari survei terhadap sekelompok remaja di Rumania.

Baca Juga

Penulis utama dari penelitian ini, Reka Borka Balas, yang berafiliasi dengan Universitas Kedokteran, Farmasi, Sains, dan Teknologi Târgu Mureș, Rumania, menjelaskan penindasan di dunia maya telah menjadi isu global yang sangat meresahkan, terutama di kalangan remaja.

Dampak psikologisnya sangat negatif. Penelitian berbasis kuesioner daring melibatkan 316 remaja untuk mengidentifikasi sejauh mana penindasan di dunia maya tersebar di Rumania, mengevaluasi dampak-dampak sosial dan psikologisnya, serta menganalisis faktor-faktor yang mungkin membuat remaja rentan menjadi korban penindasan tersebut.

Hasil dari studi ini mengungkapkan beberapa hal penting tentang penindasan di dunia maya pada remaja. Mayoritas korban penindasan ini mengalami tindakan tersebut melalui platform seperti, Facebook (75 persen), Instagram (41 persen), dan dalam konteks bermain game daring (18 persen). Hampir setengah dari responden mengaku pernah menjadi korban penindasan, dengan remaja perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi daripada remaja laki-laki.

“Lebih dari setengah (53 persen) dari korban penelitian kami mendapatkan dukungan dari orang lain," kata Balas dan rekannya dalam laporan penelitian ini, dilansir Medical Xpress, Senin (28/8/2023).

Studi ini menyoroti pentingnya menciptakan lingkungan yang sehat, terutama di lingkungan rumah. Temuan mengejutkan bahwa remaja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk melakukan penindasan di dunia maya dibandingkan dengan remaja yang berasal dari keluarga yang lebih stabil.

Menariknya, penelitian ini juga menunjukkan korelasi statistik antara konsumsi berbagai substansi seperti kopi, obat-obatan, rokok, alkohol, dan minuman energi dengan perilaku agresif. Data juga mengindikasikan bahwa remaja laki-laki cenderung lebih terlibat dalam tindakan penindasan daripada remaja perempuan.

Selain itu, studi ini menunjukkan bahwa remaja dengan kepribadian introvert cenderung lebih sedikit menjadi korban penindasan di dunia maya (8 perseb) dibandingkan dengan remaja yang lebih ekstrovert (34 persen). Meskipun sebagian besar korban penindasan yang disurvei (59 persen) tidak tahu siapa pelaku penindasan, hampir 23 persen dapat mengidentifikasi pelaku sebagai kenalan, 11 persen sebagai pacar, dan 8 persen sebagai teman sekelas.

Selain itu, data juga menunjukkan bahwa mereka yang tidak menjadi korban memiliki lebih sedikit teman yang mengalami penindasan di dunia maya (22 persen). Studi ini pun menemukan bahwa korban memiliki kemungkinan 2.100 kali lebih tinggi untuk memiliki teman yang juga menjadi korban penindasan.

Penelitian ini menyatakan, dampak penindasan di dunia maya tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh pelaku. Nyatanya, hampir 5 persen responden merasa sangat menyesal atas peran mereka dalam tindakan tersebut. Hasil survei menyatakan, remaja yang menjadi korban penindasan di dunia maya memiliki peluang lima kali lebih besar untuk melakukan penindasan terhadap orang lain dibandingkan dengan remaja yang tidak pernah menjadi korban.

Walaupun 66 persen responden setuju bahwa penindasan di dunia maya dan kekerasan fisik memiliki tingkat keseriusan yang sama, 23 persen berpendapat bahwa penindasan di dunia maya lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan kekerasan fisik. Sebanyak 11 persen peserta survei, menganggap penindasan di dunia maya lebih buruk dibandingkan kekerasan fisik.

Sementara lebih dari 47 persen responden menolak dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental, sejumlah besar korban merasakannya. Lebih dari 30 persen responden melaporkan perasaan kesal, hampir 4 persen mengalami masalah insomnia, dan hampir 8 persen mengalami gejala depresi.

Namun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan dari keluarga dan sekolah memiliki dampak signifikan dalam mengurangi efek buruk dari penindasan di dunia maya pada remaja. Sayangnya, strategi semacam ini jarang diadopsi oleh para korban penindasan di dunia maya.

"Dampak perundungan di dunia maya terhadap emosi dan kesejahteraan remaja mencakup gejala somatik, depresi, dan stres,” ujar Balas dan rekan penulisnya. Penelitian menyarankan orang tua dan guru mendorong dialog mengenai penindasan di dunia maya, membantu remaja menemukan strategi efektif untuk menghadapi situasi semacam ini, serta mengembangkan empati, keterampilan komunikasi, dan sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement