Senin 20 Mar 2023 20:14 WIB

Lebih Berbahaya, IDAI ingatkan TBC Harus Dilacak seperti Covid-19

IDAI sebut gejala TBC bisa berlangsung hingga dua pekan

Tenaga kesehatan memberikan informasi tentang penyakit Tuberkulosis (TBC) kepada siswa saat penyuluhan di SMPN 4 Kota Tangerang, Banten.Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rina Triasih, mengatakan penyebaran penyakit menular Tuberculosis (TBC) perlu dilacak (tracing), sama halnya dengan COVID-19.
Foto: ANTARA/Fauzan
Tenaga kesehatan memberikan informasi tentang penyakit Tuberkulosis (TBC) kepada siswa saat penyuluhan di SMPN 4 Kota Tangerang, Banten.Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rina Triasih, mengatakan penyebaran penyakit menular Tuberculosis (TBC) perlu dilacak (tracing), sama halnya dengan COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rina Triasih, mengatakan penyebaran penyakit menular Tuberculosis (TBC) perlu dilacak (tracing), sama halnya dengan COVID-19.

Hal ini menurutnya, TBC lebih mengkhawatirkan, mengingat gejala orang yang terjangkit tidak akan muncul dalam waktu singkat seperti COVID-19 yang dapat dideteksi hanya dalam hitungan hari, dan paling lama dua pekan.

"Kontak tracing khusus TBC itu sudah ada sejak 2006 tapi masih tidak dilakukan dengan baik," ujar Rina pada konferensi pers yang disiarkan secara daring, Senin (20/3/2023).

Rina menjelaskan, gejala TBC bagi seseorang yang terjangkit baru akan muncul hingga dua tahun setelahnya. Sedangkan pada sebagian besar kasus, gejala akan muncul dalam periode satu tahun.

"Sehingga kalau kita kontak dengan pasien TBC tidak akan ada gejala dalam waktu dekat, akan terlihat sehat, sehingga ini perlu kita waspadai," tambahnya.

Pada tahun 2021, estimasi jumlah kasus TBC di Indonesia sebanyak 969. Namun Rina menyebut capaian utama program TBC Nasional seperti indikator penemuan dan pengobatan pada TB sensitif obat (SO) maupun TB resisten obat (RO) masih di bawah target.

"Yang sudah terdata masuk pada program TBC Nasional itu baru sekitar 46 persennya, artinya, masih ada 54 persen kasus ini yang hilang, tidak terdeteksi," kata Rina.

Kabar baik, Rina menyebut pada tahun 2022 kasus hilang tersebut telah menurun hingga tersisa 25 persen.

Meski begitu, kasus TBC pada anak di tahun lalu melonjak hingga mencapai 88.000 kasus.

"Apakah pelonjakan ini akibat pandemi mereka banyak di rumah jadi tidak berobat, bisa jadi daya tahan anak-anak yang semakin rendah, atau memang tracing-nya yang semakin gencar? Ini masih harus dievaluasi," imbuhnya.

Untuk itu, Rina tak henti mengingatkan masyarakat untuk tidak menyepelekan TBC, selain berusaha melakukan pelacakan lebih masif bagi pemerintah dan berbagai fasilitas kesehatan.

Ketua UKK Respirologi IDAI itu juga mengimbau pemberian obat pencegahan TBC harus ditingkatkan. "Apakah TBC bisa dicegah? Bisa, karena TBC sudah ada obatnya, tidak untuk anak dan remaja saja tapi juga dewasa. Obat ini disediakan gratis dari pemerintah," kata dia.

Sama seperti negara-negara lain, hingga saat ini Indonesia masih berusaha untuk mencapai target bebas TBC pada tahun 2030.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement