Selasa 19 Aug 2025 13:22 WIB

Perempuan Korban Penguntitan Berisiko Lebih Tinggi Alami Penyakit Jantung

Meski tidak melibatkan kontak fisik, penguntitan tidak bisa dianggap sepele.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Perempuan ketakutan (ilustrasi). Perempuan yang pernah menjadi korban penguntitan disebut memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung pada kemudian hari.
Foto: www.freepik.com
Perempuan ketakutan (ilustrasi). Perempuan yang pernah menjadi korban penguntitan disebut memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung pada kemudian hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan yang pernah menjadi korban penguntitan disebut memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung pada kemudian hari. Hal ini merujuk pada studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation.

Peneliti menemukan perempuan yang melaporkan pernah mengalami penguntitan atau bahkan sampai harus mengajukan perintah perlindungan cenderung memiliki kemungkinan lebih besar terkena gangguan kesehatan jantung. "Penguntitan sering kali dipandang sebagai bentuk kekerasan yang tidak melibatkan kontak fisik, sehingga dianggap kurang serius. Namun temuan kami menunjukkan bahwa penguntitan tidak bisa dianggap sepele," kata peneliti utama sekaligus associate researcher epidemiologi di Harvard TH Chan School of Public Health.

Baca Juga

Penelitian ini melibatkan lebih dari 66 ribu perempuan yang mulai diikuti sejak tahun 2001, dengan usia rata-rata 46 tahun pada awal studi. Dari jumlah tersebut, sekitar 7.700 perempuan melaporkan pernah menjadi korban penguntitan, sementara hampir 3.700 lainnya harus mengajukan perintah perlindungan karena mengalami pelecehan.

Hasil studi menunjukkan bahwa perempuan yang pernah mengalami penguntitan memiliki kemungkinan 41 persen lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mengalaminya. Sementara itu, perempuan yang mengajukan perintah perlindungan tercatat memiliki risiko 70 persen lebih tinggi terkena penyakit jantung.

Risiko tertinggi ditemukan pada kelompok perempuan yang mengalami kedua kondisi sekaligus, baik menjadi korban penguntitan maupun mengajukan perintah perlindungan, dengan tingkat penyakit jantung dua kali lebih tinggi dibandingkan perempuan yang tidak mengalami keduanya.

Selain itu, perempuan yang mengalami serangan jantung atau stroke setelah peristiwa tersebut tercatat lebih sering melaporkan pernah menjadi korban penguntitan atau mengajukan perintah perlindungan. Para peneliti menjelaskan bahwa hubungan antara stres psikologis akibat penguntitan dan kesehatan jantung bisa dijelaskan melalui aktivasi respons "lawan atau lari" yang berkepanjangan. Respons ini bisa mengganggu fungsi jantung, tekanan darah, dan memicu berbagai masalah kesehatan lainnya.

Mantan ketua Komite Ilmiah Kesehatan Jantung dan Stroke Perempuan American Heart Association, dr Harmony Reynolds, mengatakan bahwa efek dari stres semacam ini dapat bersifat jangka panjang.

"Mungkin karena secara alami kita cenderung terus memikirkan kembali peristiwa traumatis, yang membuat kita seolah mengalami kejadian itu berulang kali," ujar Reynolds seperti dikutip dari United Press International, Selasa (19/8/2025).

Namun, Reynolds mengatakan dukungan sosial bisa membantu meredakan dampak stres tersebut. Dukungan itu bisa dari keluarga, teman, komunitas, maupun profesional.

la juga mencatat bahwa korban kekerasan oleh pasangan memiliki risiko 30 persen lebih tinggi terkena penyakit jantung. "Meski risikonya dalam studi ini terlihat lebih moderat, namun dengan rentang waktu yang panjang, ini menunjukkan bagaimana rasa tidak aman bisa memengaruhi tubuh, bukan hanya pikiran," kata Reynolds.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement