REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Linimasa media sosial, terutama TikTok, diramaikan oleh tren princess treatment. Sekilas, tren ini tampak tidak berbahaya. Perempuan memamerkan gestur romantis yang dilakukan pasangannya, mulai dari membawakan bunga, menyiapkan makanan, hingga memberikan jaket saat kedinginan.
Namun, di balik keromantisan yang ditampilkan, tren ini memicu perdebatan serius, terutama ketika beberapa kreator membawa konsepnya ke tingkat ekstrem. Salah satu kreator yang paling disorot adalah Courtney Palmer, yang dijuluki The Princess Treatment Lady. Ia menjadi viral karena dua videonya yang kontroversial yakni satu, di mana ia tidak mengikat tali sepatunya sendiri dan menunggu suaminya melakukannya; dan dua, di mana ia menjelaskan bahwa ia tidak berbicara atau melakukan kontak mata dengan pelayan di restoran saat bersama suaminya.
Palmer menyatakan semua itu dilakukan untuk menjadi lebih "feminin" dan membiarkan suaminya menjadi lebih "maskulin". Sontak, warganet bereaksi keras. "Ini kaya sekte atau situasi sandera," ujar seorang pengguna.
"Menolak berbicara, melihat, atau mengakui keberadaan pramusaji dan orang lain yang kamu temui itu ya memang tidak sopan," kata warganet lainnya.
Fenomena dinilai princess treatment ini mirip dengan tren tradwife (traditional wife), di mana peran gender yang sangat tradisional dianggap aspiratif. Fenomena ini, menurut Genesis Games, seorang terapis dan pakar hubungan, awalnya memang menarik bagi perempuan yang mendambakan pasangan romantis. "Namun, ada bedanya antara menyampaikan ekspektasi yang wajar secara jelas dan membuat diri sendiri terlihat kecil dan tak berdaya di depan pasangan," ujarnya dikutip dari laman Huff Post pada Senin (18/8/2025).
Bagi Games, Palmer condong ke arah yang terakhir, dan itu dinilainya sangat mengganggu.
Ketika Kemandirian Ditukar dengan Ketergantungan
Meskipun seorang matchmaker Blaine Anderson berpendapat bahwa dinamika hubungan yang dipilih Palmer bisa saja berhasil jika kedua belah pihak menyetujuinya, Games memiliki pandangan berbeda. Ia menganggap dinamika yang digambarkan Palmer sangat "terskrip" dan berasal dari norma patriarki.
"Peran gender tradisional yang sangat kaku dan tidak memberi ruang fleksibilitas sering kali merugikan baik perempuan maupun laki-laki," kata Games. Ia mengatakan laki-laki bisa kehilangan ruang untuk mengekspresikan perasaan, sementara perempuan didorong untuk mengecilkan diri.
Seorang pelatih kencan, Sabrina Zohar, bahkan lebih vokal dalam kritiknya. "Pikirkan apa sebenarnya yang diwakili oleh seorang putri, seseorang yang mewarisi status melalui ayahnya, bukan melalui pencapaiannya sendiri," kata Zohar.
"Ketika perempuan dewasa menginginkan princess treatment, pada dasarnya mereka mendambakan ketidakberdayaan," kata dia lagi.
Bagi Zohar, tren ini bukanlah tentang romansa, melainkan tentang menghindari tanggung jawab. Ia melihatnya sebagai cara bagi banyak orang untuk melarikan diri dari kehidupan yang kompleks dan menakutkan.
"Namun ironisnya, ini membungkus pelarian diri sebagai romansa. Alih-alih membahas mengapa begitu banyak orang ingin lari dari hidup mereka sendiri, kita malah meromantisasi ketergantungan," kata dia lagi.
Zohar juga menyoroti bahaya utama dari tren ini yaitu menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang dianggap diinginkan. "Keseluruhan premis princess treatment bergantung pada satu pasangan yang selalu mengantisipasi kebutuhan, sementara yang lain tetap pasif," ujarnya.
Ia mengatakan hubungan yang sehat seharusnya didasarkan pada kemitraan, di mana kedua belah pihak saling memberi dan menerima. Namun, fenomena ini justru mempromosikan gagasan bahwa satu pihak harus terus-menerus dilayani.
Lebih jauh lagi, Zohar mengkhawatirkan bahwa tren ini menunjukkan perempuan ingin "diselamatkan" alih-alih menyadari bahwa mereka mampu menangani kehidupan mereka sendiri. "Ketika kita mempercayai fantasi ini, kita bukan hanya menyiapkan diri untuk kecewa — kita secara aktif menghindari pertumbuhan pribadi yang datang dari menangani hidup kita sendiri," ujarnya.
Tidak hanya berbahaya bagi perempuan, tren ini juga berdampak buruk bagi laki-laki. Games khawatir laki-laki muda mungkin tidak berani untuk mencoba, karena merasa tidak layak. Saya khawatir perempuan muda mungkin melewatkan pasangan yang sebenarnya cocok hanya karena ekspektasi mereka sudah didorong jauh di luar kenyataan," ujarnya.
Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa banyak kreator yang mempromosikan tren ini memiliki kondisi finansial yang jauh di atas rata-rata. Meskipun banyak orang mencoba menghubungkan princess treatment dengan kink D/s (Dominance and Submission), Zohar membantah hal itu. "Dalam dinamika D/s yang asli, ada negosiasi eksplisit, batasan yang jelas, dan yang paling penting — persetujuan dan kesadaran dari kedua pihak tentang pertukaran kekuasaan," jelasnya.
"Yang kita lihat dengan princess treatment bukan itu. Ini orang-orang yang secara tidak sadar mereplikasi struktur kekuasaan yang tidak setara dan menyebutnya romansa," kata dia.
Ia menyimpulkan bahwa tren ini bukan tentang eksplorasi kink yang sehat, melainkan tentang menghindari tanggung jawab orang dewasa.
Pada akhirnya, para ahli sepakat bahwa hubungan yang sehat melibatkan perhatian timbal balik, bukan satu orang yang dilayani.
"Hubungan yang sehat memerlukan dua pihak untuk hadir, berkomunikasi kebutuhan mereka, dan bekerja sama," kata Zohar.
Sementara gestur romantis memang indah, Games mengingatkan bahwa tidak perlu sampai ekstrem di mana perempuan didorong untuk membuat diri mereka "kecil" dan menghilang di belakang laki-laki. Menurut dia, hubungan sejati adalah di mana kedua belah pihak dapat tampil utuh dan autentik tanpa saling melemahkan.