REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih banyak anak di Indonesia yang sering melewatkan sarapan. Padahal, sarapan sangat penting sebagai sumber energi untuk mulai menjalankan aktivitas.
Menurut data dari Survei Diet Total (SDT) Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, dari 25 ribu anak usia enam hingga 12 tahun di 34 provinsi, terdapat 47,7 persen anak belum memenuhi kebutuhan energi minimal saat sarapan. Bahkan, 66,8 persen anak sarapan dengan kualitas gizi rendah.
Psikolog Intan Erlita mengatakan kebiasaan sarapan secara psikologis adalah hasil dari apa yang anak ikuti dari orang tua. Anak akan melihat, mendengar, lalu meniru orang tua.
"Sudah natural seperti itu," kata Intan dalam acara "Puck Ajak Orang Tua Bangun Kebiasaan Sarapan Bernutrisi" di Rumah Wijaya, Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2023).
Intan menyebut masih banyak orang tua yang menerapkan pengganti sarapan dengan minuman, misalnya hanya dengan menyeruput teh manis hangat. Tanpa disadari, kebiasaan ini terus terjadi secara turun-temurun.
Oleh karena itu, orang tua harus mengubah pola makan dan konsisten menjalaninya. Menurut Intan, itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Menciptakan kebiasaan baru, menurut Intan, butuh waktu sekitar 90 hari, tiga bulan. Kalau baru dua pekan menjalankan lalu kembali ke kebiasaan lama, itu belum bisa membentuk kebiasaan sarapan sehat.
"Pola asuh termasuk di antaranya pola makan," ujar dia.
Cara mengubah kebiasaan sarapan sehat lanjut dia bisa dengan mengganti menu makanan yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Selain menu makanan, orang tua juga perlu makan bersama anak.
"Orang tua bisa mulai duduk bareng, ikut makan bareng anak-anak. Karena sebenarnya waktu berkualitas terbaik salah satunya saat makan bersama karena kita bisa mengobrol banyak," ucap dia.