Selasa 26 Feb 2019 17:13 WIB

Kak Seto: Anak Usia Dini Belum Siap Belajar Calistung

Memaksakan calistung pada anak usia dini bisa berdampak ke psikologisnya.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah murid PAUD Tunas Bina saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di Masjid Al-Ikhlas, Tamansari, Jakarta Barat, Selasa (30/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah murid PAUD Tunas Bina saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di Masjid Al-Ikhlas, Tamansari, Jakarta Barat, Selasa (30/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menilai mengajarkan baca, tulis, hitung (calistung) kepada anak usia dini tidak tepat. Secara psikologis anak usia dini belum mampu berpikir abstrak.

"Secara psikologis anak itu belum memungkinkan berpikir abstrak, khususnya menghitung dan menulis, itu abstrak kan. Perkembangan psikomotoriknya belum saatnya," kata pria yang akrab disapa Kak Seto ini, Selasa (26/2).

Baca Juga

Keadaan psikologis anak yang belum siap dikhawatirkan akan membuat anak frustasi dan menyebabkan rasa tidak nyaman sekolah. Bukan tidak mungkin anak kemudian merasa tertekan dan mengalami school phobia atau rasa takut terhadap sekolah.

Sebenarnya, kata Kak Seto, kompetensi calistung untuk anak usia dini sudah dilarang sejak era orde baru yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan. "Itu bukan kompetensi TK. Namanya taman kanak-kanak, itu taman tempat bermain," kata dia.

Menurut dia, masih ada SD yang memberikan tes calistung sebagai syarat diterima seorang siswa. Alasannya pihak sekolah tidak tahu cara yang tepat untuk menyaring siswa baru. Padahal, seharusnya saringan masuk SD lebih ditekankan kepada umur bukan pada kemampuan.

Dampak memaksakan calistung pada anak usia dini adalah trauma dan tertekan akhirnya tidak menyukai kegiatan belajar. Kegiatan belajar seharusnya dibuat dengan menyenangkan, namun karena dipaksakan justru membuat anak tertekan.

Paksaan mempelajari calistung pada anak usia dini, lanjut dia, juga sering kali merupakan ambisi orang tua. "Kalau anaknya hanya bermain ditanya, kenapa cuma main? Padahal lagu taman kanak-kanak disebutkan di situ tempat bermain dan berteman banyak," kata dia.

Ia menjelaskan di Skandinavia, contoh negara yang peduli pendidikan dengan cara yang benar, bahkan sampai usia kelas 3 SD masih penuh dengan nuansa bermain. Berbeda dengan di Indonesia yang pada kelas 1 SD sudah mulai memikirkan soal ranking.

"Padahal spektrum cerdas itu luas, bukan hanya calistung tapi bisa cerdas musik, cerdas menyanyi, cerdas menari, menggambar," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement