Ahad 11 Feb 2018 18:49 WIB

Merentang Sejarah Kue Tradisional Puthu

Kue puthu diduga merupakan hasil akulturasi budaya dengan kuliner Cina.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Indira Rezkisari
Warung Puthu Lanang menjajakan kue tradisional sejak 1935 di Jalan Jaksa Suprapto, Kota Malang.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Warung Puthu Lanang menjajakan kue tradisional sejak 1935 di Jalan Jaksa Suprapto, Kota Malang.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Indonesia dikenal memiliki banyak kue tradisional yang tersebar di seluruh daerah. Beberapa di antaranya masih ada yang dikenal oleh generasi muda tapi lainnya adapula yang sudah sulit ditemukan.

Puthu bisa jadi kue tradisional yang agak sulit ditemukan di sejumlah daerah saat ini. Hal inilah yang terjadi di Kota Malang yang pada nyatanya dapat dihitung jari berapa warung yang menjajakan ini. Padahal kue ini memiliki nilai historis tersendiri di kebudayaan Indonesia, bahkan Asia.

Penggiat Sejarah di Jelajah Jejak Malang (JJM), Mochammad Antik (37) menerangkan, sejarah kue putu sebenarnya dapat ditemukan di "China Silk Museum". Bersamaan dengan penyajian teh longjin, kue ini dinilai sudah ada sejak 1200 tahun lalu, yakni di Dinasti Ming. Puthu di masa awalnya dikenal dengan sebutan XianRoe Xiao Long yang berarti kue dari tepung beras berisi kacang hijau yang amat lembut dan dikukus dalam cetakan bambu.

"Dan kalau di Indonesia dikenal dengan nama puthu," kata Antik saat ditemui di kediamannya di Kota Malang, Ahad (11/2).

Di Indonesia, Antik mengatakan, nama puthu muncul dalam naskah sastra lama, Serat Centhini yang ditulis pada 1814 di masa kerajaan Mataram. Di dalam naskah tersebut, kejadian penyebutan puthu ini diambil sekitar 1630 di Desa Wanamarta, Jawa Timur (Jatim). Desa ini kemungkinan besar berada di Probolinggo apabila melihat dari rute perjalanan pelaku cerita naskah, Syekh Amongraga dan Tambangraras.

Di dalam naskah, kata puthu muncul saat Ki Bayi Panurta meminta santrinya menyediakan hidangan pagi. Dari hidangan tersebut terdapat nasi goreng, nasi rames, nasi tumpeng dengan lauk ikan betutu dan kambing. Adapun minumannya terdapat serbat dan kopi sedangkan makanan sampingannya, serabi serta puthu.

Penyebutan puthu juga muncul di peristiwa lain dengan lokasi serupa, Desa Wanamarta. Di naskah Centhini disebutkan Nyai Daya dan Nyai Sumbaling tengah menyiapkan kudapan setelah shalat Subuh. Di hidangan tersebut terhidang gemblong, ulen-ulen, lempeng, serabi, puthu, jadah, jenang, dendeng balur, dendeng gepuk, pisang bakar, kupat, balendrang, jenang grendul, pisang raja dan wedang bubuk.

"Dari dua kejadian ini adahal menarik yang bisa ditarik. Kue puthu sepertinya selalu dihidangkan pagi hari. Pada masa itu seakan kue puthu itu sarapan pagi, camilan pagi atau mungkin makanan pembuka," jelas dia.

Sementara ihwal datangnya pengaruh puthu ke Indonesia, Antik berpendapat, ini kemungkinan terjadi saat Cina datang ke Indonesia. Kondisi ini terjadi sekitar masa awal perkembangan Islam atau kemunduran Kerajaan Majapahit. Lebih tepatnya terjadi sekitar 1368 sampai 1600-an.

Di masa tersebut, Antik mengatakan, orang-orang Cina dari Laksamana Cheng Ho mulai menyebarkan Islam di Tanah Air. Seperti diketahui, bukan saja ada pengaruh agama di sana tapi juga terjadi akulturasi kebudayaan. Dengan kata lain, pengaruh puthu bersamaan kuliner Cina lainnya muncul di era tersebut.

Puthu di masa Dinasti Ming dikenal dengan isian kacang hijaunya sedangkan di Indonesia lebih pada gula merah. Menurut Antik, perubahan ini bisa jadi karena menyesuaikan dengan situasi di lapangan. "Dulu gula merah lebih mudah dicari dibandingkan bahan baku kacang hijau. Apalagi gula merah kita melimpah kala itu," terangnya.

Selain puthu biasa, Antik menjelaskan, terdapat pula kue puthu mayang di masyarakat saat ini. Menurut dia, kehadiran jenis ini kemungkinan hanya varian untuk menyesuaikan pasar. Namun jika dilihat dari sisi usia, puthu biasa dapat disebut yang paling tua di antara keduanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement