REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk mengoptimalkan perkembangan sosial emosional anak, ternyata bisa dibantu dengan bermain bersama antara orangtua dan anak. Menurut Dokter Spesialis Anak dari Rumah Sakit Bunda, Jakarta, dr Markus Danusantoso, SpA, orangtua atau pengasuh sebaiknya selalu menunjukkan cinta kasihnya. Orangtua juga harus dekat dengan bayi atau anak (attachment), sensitive, responsif, dan siap membantu (available).
Selain itu, orangtua juga bisa bernyanyi bersama anak atau membaca buku bersama. Saat membaca buku, lanjutnya, ajak anak fokus dengan buku yang kita baca. Baik orangtua maupun anak harus sama-sama fokus.
Karena kalau anak tidak memperhatikan, maka kemampuan sosial emosionalnya tidak terbentuk. “Ketika mengajak anak baca buku, dianya melengos. Tidak akan berhasil. Dia tidak peduli. Sama seperti mengajak bernyanyi tapi matanya kemana-mana. Sayangnya orangtua sering membiarkan,” ujarnya dalam acara “Develop Social and Emotional Skills Through Playing” yang diselenggarakan Early Learning Centre (ELC), sebagai penyedia mainan yang membantu perkembangan anak, di Jakarta, belum lama ini.
Ajak juga anak bermain bersama, baik dengan orangtua, pengasuh ataupun anak-anak lainnya dengan permainan yang sesuai dengan usia dan perkembangannya. “Libatkan anak. Gunakan unsur kalau anak berhasil, kasih pujian yang heboh. Misalnya horeee, kamu berhasil. Sebaliknya, kalau tidak berhasil, jangan katakan kamu goblok, sudah diajarkan sepuluh kali, ganti deh dengan mainan lain,” ujarnya yang juga menjadi ELC Child Development Specialist.
Jika orangtuanya sudah menyerah dalam permainan yang anak tidak mampu selesaikan dan mengganti dengan mainan lain, ini membuat anak tidak terbiasa diberikan tantangan. Mereka jadi sering diberikan kemudahan.
Dalam tahap perkembangan anak, anak perlu dilibatkan. Anak umur dua tahun sudah bisa main cooperative playing, mainan yang sifatnya kerjasama. Misalnya main mainan memasukkan bola ke dalam lubang, ajak anak main bersama, main secara bergantian atau bergiliran memasukkan bola kedalam lubangnya. Anak dulu kemudian orang tua, begitu seterusnya. Kalau mainnya masing-masin, tidak ada kerjasama.
Selain itu, bisa gunakan permainan menyusun puzzle. Saat anak berhasil, orangtua sebaiknya memberi pujian. Tapi kalau anak berhasil, tapi dia diam saja, tidak menunjukkan perasaan bahagia, orangtua yang harus membangkitkan. Orangtua harus angkat tangan anak, sambil katakan. “Hore kamu bisa, mama bangga kamu bisa mainkan puzzle.” Ini bisa membangkitkan kebanggaan anak.
Saat bermain, bisa juga ajarkan anak tentang berbagi. Menurutnya anak usia tujuh delapan bulan sudah bisa berbagi seharusnya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika bermain, ajak anak berbagi mainan dengan temannya atau dengan orangtua yang menemani main. Saat mau berbagi beri pujian pada anak.
“Kalau orangtua tidak memberikan kesempatan berbagi pada anak, maka anaknya akhirnya menjadi egois. Apa yang dia dapat hanya untuk dia, tidak untuk orang lain,” ujarnya.
Menurutnya, permainan adalah media interaksi sosial anak. Jangan sampai membelikan anak mainan, namun anak dibiarkan mainan sendiri, sedangkan orang tua sibuk dengan gawainya sendiri.
Interaksi antara orangtua dan anak tidak akan jalan. “Kalau kita tidak perhatikan aspek emosional sosial anak. Tidak memberikan kesempatan berbagi. Tidak membuat giliran dan aturan dalam bermain, akhirnya anak main sendiri,” ujarnya.
Misalnya ketika orangtua membelikan anak mainan masak-masakan, ajak anak main bersama sambil berinteraksi. Misalnya, “Adik mau masak apa sekarang?” Menurutnya, hal-hal seperti itu akan membuat anak berimajinasi.
“Bermain merangsang imajinasi. Saat ibu minta masakin sesuatu saat bermain masakan. Atau saat bermain boneka, anak akan sayang-sayang boneka, dan memangil bonekanya dedek. Itu contoh bahwa dia sudah berimajinasi sesuatu positif. Karena itu, pendampingan sangat penting untuk menunjang hal-hal itu. Pendampingan munculkan anak saling berbagi, munculkan kekecewaan dan kegembiraan,” ujarnya.
Saat bermain, orangtua bisa melihat berbagai aspek perkembangan anak, mulai dari aspek logik, motorik kasar juga motorik halus. Juga bagaimana komunikasi anak. Misalnya saat main buah potong, tanya anak apa buah yang dia suka, misalnya pisang, kemudian minta anak ambil buah yang dia suka.
Kalau ternyata dia malah mengambil semangka, berarti ada masalah pada anak. Kita bisa tahu anak ini sebenarnya mengerti atau tidak buah apa yang dia suka. Kalau dia tidak tahu buah pisang, dia ambilnya semangka. Berarti dia asal comot. Kita sebagai orangtua harus memperbaikinya. Dan tunjukkan buah yang benar.
Dengan main buah potong, lanjutnya, anak juga bisa tahu bagaimana bentuk buah asli, lalu bagaimana bentuk buah setelah dipotong. Saat anak sudah bosan bermain mainan sebelumnya, dokter Markus menyarankan agar orangtua menyiapkan mainan pengalihan dengan mainan yang berbeda. Jika anak diberikan maianan yang dia tidak suka, dia akan merasa diberikan sesuatu yang dia tidak mau, sehingga dia tidak tertarik memainkannya. “Jika permainannya bervariasi, anak tidak akan bosan.”
Ia menambahkan saat bermain bersama anak, hadirkan suasana gembira yang membuat anak ceria. Ia juga menyarankan agar orangtua atau pengasuh selalu mengajak anak bicara dan memberi penjelasan (authoritative parenting). “Jangan sampai orangtua tidak mengajak bicara, hanya main saja. Saat berbicara yang penting proses bicara, naik turun intonasinya, saat merasa bangga atau gembira anak akan mengikuti irama intonasi kita,” jelasnya.
Orangtua atau pengasuh selalu berhadapan dan tatap mata saat bicara dengan anak. Ini penting agar anak menatap mata orangtuanya balik. Kalau ada ekspresi kegembiraan anak akan melihat ke orangtua. “Pada orang dewasa, bicara tidak tatap mata tidak apa, pada anak tidak boleh karena dalam masa perkembangan,” ujarnya.