REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- President of Indonesia Pastry Alliance, Chef Rahmat Kusnedi yang juga seorang Chef Pastry menjelaskan perkembangan industri oleh-oleh di Indonesia masih besar. Bahkan potensinya cukup tinggi.
"Presentasi yang ada, perminta tinggi 100 persen yang terakomodir 60 persen masih ada peluang 40 persen," jelasnya kepada wartawai usai konferensi pers Kompetisi Blue Band Master Oleh-oleh di Jakarta.
Sayangnya, oleh-oleh yang sudah memiliki nama hanya sebagian kecil saja. Dan itu didominasi di wilayah Jawa. Sebut saja brownies kukus dan pisang boleh dari Bandung. Atau sebut lapis talas Bogor atau roti unyil dari Bogor. Adapula lapis Surabaya, bakpia dari Yogyakarta.
Di wilayah Sumatera ada keripik balado dari Padang, ada keripiki pisang dari Lampung dan lainnya. Dan dari Sulawesi ada klapetart. Sementara para baker dari provinsi kecil sangat sulit memajukan oleh-oleh produksinya.
Ia mengungkapkan Taiwan memiliki 6.000 praktisi bakery atau pastry. Sedangkan Indonesia yang begitu besar praktisinya masih di bawah sepuluh ibu. Rahmat berharap pemerintah mendukung industri ini. "Salah satu kuliner adalah oleh-oleh. Jangan sampai destinasi ditambah tapi khazanah lokal tidak ditunjang," jelasnya.
Sebenarnya apa penyebab industri oleh-oleh belum berkembang dengan baik? Ia menjelaskan penyebabnya adalah koneksitas. Pembuat oleh-oleh tentu membutuhkan bahan baku. Sementara bahan baku belum tersalurkan semua, untuk menuju pelosok harus pakai udara akibatnya biayanya tinggi.
Selain itu masalah lainnya adalah peralatan. Masih banyak baker yang kesulitan menggunakan cara tradisional.
Tak hanya itu, masalah SDM juga berpengaruh. Di Jakarta dan di Jawa lainnya banyak sekali, tapi kalau di daerah belum ada.