REPUBLIKA.CO.ID, Perkembangan teknologi informasi, terutama internet, dinilai membuat anak-anak kian rentan terhadap eksploitasi seksual.
Orang dewasa yang seharusnya melindungi anak-anak, justru dapat menjadi predator seks yang tega. Bahkan, tidak jarang predator seksual itu merupakan orang yang akrab dengan si anak, atau malah anggota keluarga sendiri yang mengidap disorientasi tersembunyi.
Bagaimana melindungi buah hati dari bahaya itu? Menurut psikolog Diena Haryana, kasih sayang dan perhatian orang tua merupakan syarat utama.
Khususnya terhadap anak-anak usia 12-18 tahun. Diena menilai, mereka memiliki semangat dan rasa ingin tahu (curiosity) yang amat besar terhadap hal-hal baru. "Mereka juga ekspresif, selalu ingin didengar. Bersikap eksploratif terhadap hal-hal yang baru," kata Diena Haryana dalam sebuah diskusi di Kuningan, Jakarta, Ahad (21/2).
Namun, keingintahuan mereka tak disertai kemampuan bernalar yang cukup matang. Menurut Diena, itu disebabkan perkembangan jaringan otak anak-anak dan remaja memang belum sempurna.
Sehingga, mereka naif dan mudah mempercayai orang lain yang disukainya, tanpa pertimbangan dampak positif-negatif terlebih dulu.
Diena menuturkan, kelemahan itulah yang dimanfaatkan para pedofil sebagai celah. Para predator seksual itu berusaha merayu anak-anak atau remaja agar mereka merasa nyaman.
Modusnya pun banyak yang memanfaatkan jaringan internet. Diena mencontohkan media pesan pendek di gawai yang diberi isi kurang pantas (sex-text), yang kerap dipakai pedofil predator anak-anak.
"Pedofil menarik hati dan kepercayaan anak melalui sex-text atau pengiriman pesan singkat yang sifatnya seksual melalui gawai," ujar dia.