Senin 08 Feb 2016 17:58 WIB

Festival Malang Doeloe Didominasi Nuansa Masa Kini

Rep: Christiyaningsih/ Red: Andi Nur Aminah
Festival Malang Tempo Doeloe
Foto: Antara
Festival Malang Tempo Doeloe

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kecewa. Satu kata itu mewakili perasaan Eko, warga Kota Malang yang mengunjungi Festival Malang Doeloe (FMD) bersama istri dan anak-anaknya. Raut wajahnya menggambarkan kekecewaan. Senin (8/2) ini ia sengaja mengajak keluarganya berlibur ke FMD. Namun ternyata sesampainya di lokasi ia tak mendapati nuansa tempo dulu. 

Stand-stand bercita rasa modern justru lebih mendominasi ketimbang stand tradisional. Menurut dia, lokasi penyelenggaraan FMD pun kurang luas. Kuliner yang dijual kebanyakan makanan modern. "Tidak ada nuansa tempo dulu, cuma seperti pasar pagi," kata pria 36 tahun ini. 

Ia kemudian membandingkan pergelaran Malang Tempoe Doeloe (MTD) yang lebih kental nuansa nostalgianya daripada FMD. Berdasarkan pengamatan Republika.co.id, festival yang digelar sejak Ahad (7/2) kemarin ini memang lebih didominasi stand-stand modern. Stand takoyaki, jus buah, kaos, es krim pot hingga stand mobil bertebaran di lokasi FMD. Hanya ada tiga penjual makanan tradisional yang berpartisipasi. Mereka berjualan lupis dan ongol-ongol yang menempati arena event. 

Beberapa spanduk berukuran raksasa bergambar Kota Malang tempo dulu dengan warna hitam putih menjadi sasaran berfoto para pengunjung. Meski demikian kehadiran foto-foto tersebut belum dapat menguatkan konsep tempo dulu karena kalah bersaing dengan stand modern yang lebih menjamur. 

Sekitar sepuluh meter dari gapura masuk FMD, seorang pedagang mainan tradisional menggelar dagangannya di atas tikar. Sueno sudah dua hari mencari untung di FMD. Ia menjual mainan tradisional dari bambu yang biasa disebut tulupan atau cethokan. Mainan ini berupa batang bambu kecil sepanjang 30 sentimeter yang dapat menyemburkan suara seperti petasan.

Suara itu timbul dari gulungan koran basah yang dijejalkan ke dalam bambu dan didorong menggunakan batang bambu tipis lainnya. Meski suaranya mirip petasan, Sueno memastikan mainan ini tidak berbahaya. "Suara berasal dari angin yang berpindah dari dalam bambu menuju keluar," jelasnya. 

Selama dua hari berjualan ia mengaku sudah menjual lebih dari seratus buah tulupan. Satu buah tulupan ia jual seharga Rp 5 ribu. "Saya hanya ingin mengenalkan mainan tradisional kepada anak-anak supaya tidak lupa karena asyik dengan mainan modern," kata pria yang sehari-hari juga bekerja sebagai buruh ini. 

Meski berjualan di FMD, dagangan yang digelar Sueno kalah pamor oleh stand-stand yang lain. Ini karena Sueno hanya menggelar tikar kecil di sela stand resmi. Menurutnya keuntungan berdagang tidak cukup jika harus menyewa stand yang harganya mencapai ratusan ribu per hari. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement