REPUBLIKA.CO.ID, Anak yang sering menerima tekanan atau siksaan emosional cenderung mengalami kesehatan jiwa buruk, sama seperti anak yang mengalami siksaan fisik atau seksual. Kekerasan secara psikologis ini namun jarang diungkap dalam program-program yang bertujuan mengobati anak yang jadi korban.
Perkembangan baru itu didasari studi yang dilakukan Asosiasi Psikolog Amerika, seperti dikutip dari Science Daily, Jumat (10/10).
''Melihat banyak kasus kekerasan psikologis terhadap anak dan parahnya bahaya kekerasan tersebut ke anak, seharusnya isu ini ada di lini terdepan pelatihan tentang kesehatan jiwa dan pelayanan sosial,'' kata Joseph Spinazzola. dari The Trauma Center di Justice Resource Institute, Brookline, Massachusetts.
Peneliti menganalisa data dari 5 ribu lebih anak muda dengan sejarah kekerasan. Mereka pernah mendapatkan satu atau tiga macam kekerasan, yaitu siksaaan psikologis misalnya penyalahgunaan emosional atau pengabaian emosional, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.
Mayoritas, sebanyak 62 persen, memiliki sejarah penganiayaan psikologis dan seperempatnya (24 persen) dari seluruh kasus mengalami penganiayaan psikologis saja. Penganiayaan psikologis yang dimaksud adalah di-bully oleh pengasuh, dihina parah, dikontrol secara paksa, diancam, dihina harga dirinya, dituntut terlalu banyak, sampai diisolasi.
Anak yang sudah disiksa secara psikologis akan mengalami kegelisahan, depresi, rasa percaya diri yang rendah, gejala stres pascatrauma, dan kemungkinan bunuh diri. Pada beberapa kasus, dampak negatif tersebut lebih banyak dialami anak dengan siksaan psikologis dibanding seksual.
Diantara tiga macam kekerasan, yaitu psikologis, fisik, dan seksual, kekerasan psikologis paling banyak berdampak ke depresi, gangguan kegellisahan, masalah kelekatan, dan penyalahgunaan obat.
Kekerasan psikologis yang terjadi bersamaan dengan kekerasaan fisik atau seksual kemudian akan memberi dampak paling parah dan paling negatif, dibanding bila anak ditindas secara seksual dan fisik tapi tidak secara psikologis.