REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di balik kemeriahan panggung festival musik, ada kerja panjang yang jarang terlihat oleh mata penonton.
Dalam sesi “From Backstage to Onstage: Entering the Festival Ecosystem” di Jakarta Music Con 2025, Sabtu (11/10/2025), dua sosok penting di dunia festival musik, Ferry Darmawan (Program Director Joyland Festival) dan Gerhana Banyubiru (Founder & CEO The Sounds Project), berbagi pandangan tentang bagaimana membangun festival bukan sekadar acara hiburan, melainkan ruang budaya yang hidup.
Bagi Ferry, inti dari festival adalah menciptakan koneksi manusia yang autentik. “Kami percaya, festival itu bukan sekadar tempat ramai-ramai, tapi wadah untuk menularkan energi positif. Orang bisa bertahan berjam-jam di bawah panas atau hujan, tapi tetap betah karena merasa terhubung,” ujarnya.
Ia menekankan, tantangan terbesar dalam menyusun lineup bukan hanya soal genre atau selera musik, tetapi tentang menciptakan atmosfer yang membuat pengunjung ingin kembali. “Kami ingin festival ini jadi pengalaman berkelanjutan, bukan datang sekali lalu kapok,” kata dia.
Gerhana Banyubiru menyoroti pentingnya kredibilitas dan karakter dalam menyelenggarakan festival. “Dulu waktu 2019, ketika kami ingin memesan artis internasional, agennya langsung nanya yaitu dalam 12 bulan terakhir, kalian sudah kerja sama dengan siapa? Kalau belum, mereka sulit percaya. Jadi reputasi dan konsistensi itu kuncinya,” ujar Gerhana di Senayan Park.
Menurutnya, membangun festival berarti membangun identitas yang kuat, baik di mata publik maupun mitra industri. “Kita enggak bisa tiba-tiba jadi promotor baru lalu langsung target artis besar. Harus ada portofolio dan arah kurasi yang jelas supaya dipercaya,” kata Gerhana.
Di sisi lain, ia menilai tantangan modern festival kini juga datang dari arus komersialitas. Sponsor menjadi elemen penting, tapi jika tidak dikelola dengan bijak bisa menggerus nilai estetik dan pengalaman. “Festival itu memang billboard besar, tapi kami ingin kehadiran brand terasa sebagai bagian dari pengalaman, bukan sekadar promosi. Kami membatasi branding di area tertentu dan memastikan identitas festival tetap dominan,” ujarnya.
Gerhana menjelaskan, pendekatan terhadap sponsor harus berangkat dari kesesuaian nilai. “Kalau festival kami punya program volunteer dan internship, kami akan ajak brand yang memang dekat dengan komunitas kampus. Jadi bukan asal kerja sama, tapi kolaborasi yang relevan,” ujarnya.
“Bikin festival itu susah, tapi yang lebih susah adalah mempertahankan semangat dan karakternya. Begitu kehilangan rasa itu, festival berubah jadi sekadar acara musik biasa,” ujar Ferry.
View this post on Instagram