REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah Anda merasa perlu menyembunyikan diri yang sebenarnya saat bertemu teman kerja di kafe atau saudara di acara keluarga? Jika ya, kemungkinan besar Anda sedang melakukan apa yang disebut sebagai masking. Fenomena ini, yang sering terjadi pada individu neurodivergen seperti penderita autisme, sebenarnya juga bisa dialami oleh siapa saja dalam situasi sosial.
Menurut psikolog klinis berlisensi dan Kepala Divisi Sains di ABA Centers, Tiffany Hodges, masking adalah tindakan menyembunyikan atau menekan pikiran, perasaan, atau perilaku tertentu agar bisa menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Tujuan utama dari masking adalah untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan. Namun, sulit untuk mengetahui apakah seseorang sedang melakukan masking atau tidak karena tujuannya memang untuk “terlihat normal”.
Sebagai contoh, seseorang mungkin berusaha menyembunyikan perilaku yang tidak lazim, seperti tidak melakukan kontak mata atau terlalu fokus pada satu topik dalam percakapan. "Seseorang mungkin menyembunyikan perilaku-perilaku tersebut dan menggunakan perilaku yang lebih konsisten dengan norma sosial tradisional," ujar Hodges dikutip dari laman Huffington Post pada Kamis (11/9/2025).
Fenomena masking sering kali berawal dari masa kanak-kanak. Pekerja sosial klinis berlisensi dan pendiri Collaborative ABA Services, Alisha Simpson-Watt, menjelaskan anak-anak belajar mengikuti "aturan sosial" seperti melakukan kontak mata atau duduk diam, meskipun itu terasa tidak nyaman bagi mereka.
"Seiring waktu, masking menjadi sebuah kebiasaan sehingga terasa seperti 'ya memang seperti inilah adanya'," kata Simpson-Watt.
Para ahli kesehatan mental dan psikolog klinis sepakat bahwa banyak orang melakukan masking tanpa mereka sadari. Jika hal ini mulai mengganggu kualitas hidup, ada baiknya untuk mulai menyadari tanda-tandanya.
Tanda-tanda Anda Melakukan Masking
Psikolog klinis telah mengidentifikasi beberapa tanda umum dari perilaku masking dalam interaksi sosial:
1. Merasa sedang tampil atau berakting
Orang yang melakukan masking sering merasa seperti sedang "berakting" setiap kali mereka berada di sekitar orang yang tidak dikenal atau tidak membuat mereka merasa nyaman. "Mereka merasa bahwa berinteraksi adalah sebuah pertunjukan karena mereka harus berakting sebagai orang yang 'seharusnya' mereka menjadi, bukannya orang yang sebenarnya," ujar seorang psikolog klinis berlisensi di LBee Health, Karim J Torres Sanchez. Contohnya, Anda mungkin memaksakan diri melakukan kontak mata atau berpura-pura menyukai sebuah acara televisi demi kelancaran percakapan.
2. Meniru bahasa tubuh orang lain
Jika Anda sering mendapati diri meniru bahasa tubuh orang lain, kemungkinan besar Anda sedang melakukan masking. "Menonton orang lain dan mengubah nada suara serta volume untuk menyamainya dan meniru ekspresi wajah orang lain ketika itu tidak datang secara alami adalah hal yang cukup umum di antara individu yang melakukan masking," ujar psikolog klinis berlisensi dan Kepala Divisi Sains di ABA Centers, ITiffany Hodges.
3. Menahan perilaku stimming
Stimming adalah serangkaian tindakan yang dilakukan seseorang sebagai mekanisme mengatasi kecemasan, kesedihan, kegembiraan, atau emosi lainnya. Contoh umum dari stimming termasuk mengepakkan tangan, mengetuk, atau menggoyangkan tubuh.
"Jika Anda mendapati diri Anda menahan perilaku stimming (seperti menggoyangkan tubuh, mengetuk, atau gelisah) meskipun itu tidak nyaman, maka Anda mungkin sedang melakukan masking tanpa menyadarinya," kata Simpson-Watt.
4. Berlatih percakapan sebelum terjadi
Bagi banyak orang, percakapan ringan datang secara alami. Namun, bagi mereka yang melakukan masking, ini membutuhkan persiapan dan usaha ekstra.
Psikolog klinis bersertifikasi dan salah satu pendiri NeuroSpark Health, Julie Landry, mengatakan orang dewasa yang melakukan masking sering kali mempersiapkan dan melatih percakapan serta interaksi sosial sebelumnya, alih-alih mengatakan apa yang muncul secara alami dari mereka. Hal ini bisa terlihat dari kebiasaan berlatih topik pembicaraan sebelum acara atau menyiapkan naskah percakapan saat akan membuat janji dengan dokter.
5. Sulit merasa rileks, bahkan saat sendirian
Melakukan masking sepanjang waktu dapat menguras energi, bahkan setelah interaksi sosial selesai. Menurut terapis keluarga dan pernikahan di Clear Behavioral Health, Rae Lacanlale, masking, baik disadari atau tidak, membutuhkan banyak energi.
"Bayangkan saja, seseorang dengan kesulitan bersosialisasi mungkin memantau gerakan tubuh, kontak mata, volume suara, ekspresi wajah, respons orang lain, serta menentukan reaksi yang tepat terhadap orang lain, dan banyak lagi, sepanjang percakapan," ujarnya.
6. Mengalami meltdown setelah interaksi sosial
Orang yang melakukan masking dan tidak bisa menjadi diri sendiri di depan umum mungkin rentan mengalami meltdown pribadi. Hal ini terjadi karena mereka kesulitan memproses stimulasi berlebihan secara langsung. "Individu-individu ini menyembunyikan perasaan mereka di dalam diri dan tidak mengekspresikan kebutuhan mereka di tempat umum, tetapi ketika mereka sampai di mobil atau rumah, mereka bisa kewalahan dengan emosi, frustrasi, tangisan, dan kecemasan karena tidak memproses respons sistem saraf pada saat itu," kata Sanchez menjelaskan.
Konsekuensi Jangka Panjang dari Masking
Meskipun masking terkadang bisa membuat situasi sosial terasa lebih mudah dan memberikan rasa memiliki untuk sementara, perilaku ini dapat menyebabkan masalah jangka panjang. Simpson-Watt memperingatkan bahwa masking dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan kelelahan karena usaha terus-menerus untuk terlihat "normal".
Rae Lacanlale juga menambahkan, masking yang berlebihan sering kali menyebabkan perasaan tidak berharga, putus asa, dan isolasi. "Ketika masking dihargai dengan penerimaan sosial, tawaran pekerjaan, promosi, dan kehangatan dari masyarakat, hal itu dapat mengirimkan pesan yang kuat ke jiwa seseorang bahwa jati diri mereka pada dasarnya tidak dapat diterima, buruk, atau cacat," kata Lacanlale.
View this post on Instagram