REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film karya sutradara Palestina, Annemarie Jacir, Palestine 36, resmi tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) pada Jumat (6/9/2025). Penayangan berlangsung di Roy Thomson Hall dan diwarnai aksi simbolik dari pemeran utama film, Karim Daoud Anaya.
Anaya tampil di karpet merah dengan membawa kantong plastik berisi kamera dan keffiyeh Palestina yang tampak berlumuran darah palsu. Aksi itu menjadi simbol kuat dari isi film yang menyoroti kekerasan kolonial dan perjuangan rakyat Palestina.
Dalam Palestine 36, Jacir mengangkat kisah pemberontakan Arab pada 1936 melawan penjajahan Inggris di wilayah Palestina. la menyebut periode itu sebagai salah satu momen penting yang membentuk konflik berkepanjangan di Timur Tengah hingga hari ini.
"Tidak mungkin memahami situasi kita hari ini tanpa memahami tahun 1936," kata Jacir seperti dikutip dari laman France24, Senin (8/9/2025).
Jacir, yang lahir di Bethlehem dan kini tinggal di Haifa, mengaku terdorong membuat film ini karena kurangnya pemahaman global terhadap dampak kebijakan kolonial Inggris selama masa Mandat, periode sebelum berdirinya Israel pada 1948. "Saya ingin benar-benar menunjuk Inggris sebagai pihak yang bertanggung jawab," kata dia.
Film Palestine 36 menampilkan mayoritas pemeran berbahasa Arab, termasuk aktris Hiam Abbass dari serial HBO "Succession", dan aktor Inggris Jeremy Irons yang berperan sebagai komisaris tinggi Inggris. Cerita di film ini berfokus pada meningkatnya imigrasi Yahudi dari Eropa, kekhawatiran rakyat Palestina akan kehilangan tanah mereka, serta eskalasi perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Inggris. Film ini juga menggambarkan dengan detail respons militer Inggris yang brutal terhadap pemberontakan, mulai dari penangkapan massal, pemukulan warga, hingga pembakaran rumah-rumah penduduk saat penggeledahan senjata.
Jacir menyebut metode kekerasan itu menjadi warisan yang kemudian diadopsi oleh militer Israel dalam menghadapi rakyat Palestina di wilayah pendudukan hingga hari ini. Selain mengisahkan kekerasan kolonial, Palestine 36 juga menyoroti taktik "divide and rule" alias pecah belah yang digunakan Inggris dalam menguasai wilayah jajahannya. Strategi ini, menurut Jacir, digunakan untuk menciptakan ketegangan antara komunitas Arab dan Yahudi.
Narasi dalam Palestine 36 dibangun menjelang penerbitan laporan Komisi Peel, penyelidikan yang dilakukan Inggris terhadap akar ketegangan antara Arab dan Yahudi di Palestina. Komisi tersebut merekomendasikan pembagian wilayah antara Arab dan Yahudi, sebuah ide yang kemudian menjadi dasar bagi rencana pembagian wilayah oleh PBB dan pembentukan negara Israel.
"Itu memang kebijakan Inggris: awalnya menyatukan, lalu memisahkan. Itu adalah taktik pengendalian," ujar Jacir.
Jacir mengaku sambutan terhadap filmnya pada pemutaran perdana sangat luar biasa. la pun berharap Palestine 36 dapat meningkatkan kesadaran global tentang dampak jangka panjang dari pendudukan Inggris di Palestina. "Saya terkejut betapa banyak orang yang bertanya, 'Inggris pernah menjajah Palestina?' saat saya menceritakan film ini. Padahal, masa penjajahan Inggris itu sangat menentukan," kata dia.
View this post on Instagram