REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesehatan perempuan, meskipun memengaruhi setengah dari populasi dunia, sering kali masih menjadi topik yang dianggap tabu atau bahkan diabaikan di lingkungan kerja. Salah satu isu krusial yang kerap luput dari perhatian adalah menopause.
Seperti yang disampaikan oleh Komisioner Kesetaraan Gender di Sektor Publik, Victoria, Australia, dr Niki Vincent, menopause bukanlah isu sepele, melainkan sebuah isu fundamental di tempat kerja. "Hampir setengah dari angkatan kerja akan mengalaminya, sering kali pada puncak karier mereka," ujar dr Niki dikutip dari laman Women’s Agenda pada pekan lalu.
Gejala seperti hot flashes, kelelahan, kesulitan mengingat, kecemasan, dan gangguan tidur dapat membuat seorang perempuan merasa seakan mendaki Everest tanpa oksigen. Kondisi ini sering kali memaksa mereka menderita dalam diam, bahkan mengambil keputusan drastis untuk keluar dari pekerjaan, sebuah tragedi pribadi sekaligus kerugian besar bagi organisasi dan ekonomi.
Menurut laporan Deloitte, kerugian produktivitas akibat menopause di Australia mencapai miliaran dolar setiap tahun. Ketika perempuan meninggalkan pekerjaan mereka di pertengahan karier karena tempat kerja tidak mendukung kebutuhan kesehatan mereka, perusahaan kehilangan talenta, kepemimpinan, dan keragaman yang berharga. Namun, menopause hanyalah satu bagian dari masalah yang lebih besar.
Masalah kesehatan perempuan lainnya, seperti menstruasi, kesuburan, kehamilan, dan pemulihan pascamelahirkan, dinilai sering kali tidak diakomodasi dengan baik. Perempuan sering kali harus menggunakan cuti sakit atau cuti tahunan mereka untuk mengatasi kondisi ini, sementara kebijakan cuti haid yang seharusnya ada masih sangat jarang ditemukan. Ini menciptakan ketidaksetaraan yang nyata karena karyawan laki-laki tidak memiliki beban kesehatan tambahan yang sama, meskipun mereka memiliki hak cuti yang setara.
Fenomena ini diperkuat oleh bias gender yang sudah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kerja. Caroline Criado Perez dalam bukunya Invisible Women: Exposing Data Bias in a World Designed for Men, menjelaskan penelitian medis hingga desain tempat kerja secara historis berpusat pada pengalaman laki-laki.
"Ketidaknampakan" ini tercermin di dunia kerja, di mana sistem yang ada gagal melihat dan mengakomodasi realitas fisik perempuan. Namun, kini dinilai mulai terlihat adanya perubahan positif. Organisasi yang berpikiran maju mulai mengadopsi langkah-langkah nyata, seperti menormalkan pembicaraan tentang menopause, menerapkan kebijakan kerja fleksibel, bahkan memperkenalkan cuti kesehatan reproduksi.
Semua inisiatif ini dianggap bukan sekadar "fasilitas tambahan" atau bentuk kemurahan hati, melainkan sebuah langkah krusial menuju kesetaraan, inklusi, dan produktivitas. Mengakui bahwa kesehatan perempuan adalah isu tempat kerja, bukan hanya masalah individu, adalah kunci. Dengan mendukung kesehatan perempuan, perusahaan dapat meningkatkan retensi karyawan, produktivitas, dan keragaman kepemimpinan.
View this post on Instagram