Senin 01 Sep 2025 21:25 WIB

Anak Ikut Demo: Belajar Suarakan Pendapat atau Hanya Terprovokasi? Simak Kata Psikolog

Psikolog menyebut kontrol diri usia 12-17 tahun dinilai masih kurang.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Seorang anak di bawah umur yang terlibat unjuk rasa menangis meminta maaf kepada ibunya di Mako Polda Jawa Tengah, Ahad (31/8/2025). Polda Jateng membebaskan sebanyak 327 orang yang mayoritas merupakan anak-anak di bawah umur yang diduga terlibat dalam unjuk rasa maupun perusakan  Mapolda Jateng dan fasilitas umum Kota Semarang pada Sabtu (30/8) dengan sejumlah syarat, yaitu wajib lapor dua kali dalam sepekan dan berkomitmen membuat surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya.
Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan
Seorang anak di bawah umur yang terlibat unjuk rasa menangis meminta maaf kepada ibunya di Mako Polda Jawa Tengah, Ahad (31/8/2025). Polda Jateng membebaskan sebanyak 327 orang yang mayoritas merupakan anak-anak di bawah umur yang diduga terlibat dalam unjuk rasa maupun perusakan Mapolda Jateng dan fasilitas umum Kota Semarang pada Sabtu (30/8) dengan sejumlah syarat, yaitu wajib lapor dua kali dalam sepekan dan berkomitmen membuat surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog dari Universitas Indonesia, Prof Rose Mini Agoes Salim, menyoroti fenomena meningkatnya partisipasi anak-anak di bawah umur dalam aksi unjuk rasa. Menurutnya, meskipun demonstrasi bisa menjadi ruang belajar untuk menyalurkan pendapat, namun mereka lebih rentan terprovokasi karena kontrol dirinya belum stabil.

"Betul mereka bisa belajar untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya. Tapi, jika dilihat dari perkembangan anak, usia 12-17 tahun itu kontrol dirinya masih kurang, karena mereka masih remaja. Maka agak sulit bagi mereka untuk tidak terprovokasi," kata Rose dalam keterangannya, Senin (1/9/2025).

Baca Juga

la menjelaskan pada rentang usia tersebut, remaja cenderung memiliki dorongan kuat untuk tampil sebagai sosok yang berani atau "hero" di hadapan teman sebaya maupun publik. Hal ini berpotensi mendorong mereka untuk melakukan tindakan impulsif, terutama dalam situasi massa yang penuh tekanan dan emosi.

"Kesempatan untuk kadang-kadang lepas kendali itu ada, bahkan bisa sampai melakukan hal-hal negatif kepada orang yang lebih tua, karena suasana bisa memengaruhi. Mereka bercampur dengan banyak orang yang tidak selalu seumur," ujar Rose.

Rose juga menekankan pentingnya memastikan anak-anak benar-benar memahami isu yang mereka perjuangkan sebelum terjun ke lapangan. "Pertanyaan mendasarnya adalah mereka tahu gak apa yang mereka suarakan? Itu yang harus jadi perhatian awal," kata dia.

la pun mengimbau agar pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat lebih aktif memberikan edukasi politik yang sehat dan sesuai usia, serta memperhatikan dampak psikologis dari keterlibatan anak dalam aksi demonstrasi. Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa setidaknya ada 195 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya selama hampir 20 jam pada saat demo di DPR pada Senin (25/8/2025). Ratusan pelajar yang berasal wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi itu mengaku ikut demonstrasi untuk menolak kenaikan gaji atau tunjangan DPR.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement