REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang demonstrasi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di berbagai daerah Indonesia diwarnai dengan gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian ke massa aksi. Menanggapi hal ini, Sekjen Himpunan Fasyankes Indonesia dr Putro Muhammad mengingatkan gas air mata menyimpan risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan, terutama bagi kelompok rentan.
"Gas air mata memang cepat menguap di udara terbuka, tapi sisa partikelnya bisa menempel di kulit, rambut, dan pakaian selama satu sampai dua hari jika tidak dibersihkan dengan benar," kata dr Putro kepada Republika.co.id, Senin (1/9/2025).
la menjelaskan gas air mata umumnya mengandung bahan CS (o-chlorobenzylidene malononitrile) atau CN (chloroacetophenone), yang dapat memicu sejumlah gejala, mulai dari mata perih, batuk, panas di tenggorokan, hingga iritasi kulit. Pada orang dengan riwayat asma atau penyakit pernapasan, paparan intens bisa memperburuk kondisi, bahkan memicu reaksi kulit serius.
"Anak-anak, lansia, dan penderita gangguan paru juga lebih rentan mengalami masalah kesehatan akibat paparan gas air mata," kata dia.
Untuk mencegah dampak lanjutan, masyarakat disarankan segera menjauh dari sumber paparan, membilas mata dengan air bersih mengalir tanpa mengucek, serta mandi, keramas, dan mengganti pakaian sesegera mungkin. Selain dari sisi medis, dr Putro juga menyoroti penggunaan gas air mata dari sudut pandang etika dan hukum internasional. Meskipun belum ada negara yang benar-benar melarang penggunaannya secara keseluruhan, sejumlah kota di Amerika Serikat seperti Portland, Denver, dan Seattle sempat menangguhkan penggunaan gas air mata di tengah aksi protes besar.
"Di Indonesia, penggunaan gas air mata seharusnya menjadi pembelajaran penting, terutama setelah tragedi Kanjuruhan," ujar dr Putro, merujuk pada peristiwa di Stadion Kanjuruhan pada 2022 yang menyebabkan 135 korban jiwa. Ia menekankan pentingnya mengevaluasi kebijakan penggunaan gas air mata agar sejalan dengan prinsip keselamatan sipil dan kemanusiaan, serta membuka ruang diskusi untuk alternatif penanganan massa yang lebih aman dan manusiawi.