Kamis 28 Aug 2025 06:52 WIB

Jangan Salah Kaprah! Ini Bedanya Cemas Biasa dan Gangguan Kecemasan

Rasa cemas adalah salah satu dari emosi dasar manusia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Wanita mengalami rasa cemas (ilustrasi). Tidak semua perasaan cemas menandai adanya gangguan mental.
Foto: Dok. Freepik
Wanita mengalami rasa cemas (ilustrasi). Tidak semua perasaan cemas menandai adanya gangguan mental.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah anxiety semakin sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, terutama di media sosial (medsos). Banyak orang mengaku merasa anxiety dalam berbagai kondisi mulai dari tekanan pekerjaan hingga interaksi sosial. Lantas apakah setiap perasaan cemas bisa dikategorikan sebagai masalah kesehatan mental?

Founder & Psychologist Amanasa, Caca Tengker, mengatakan tidak semua perasaan cemas menandai adanya gangguan mental. Menurutnya, cemas adalah salah satu dari emosi dasar manusia yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang negatif.

Baca Juga

"Rasa cemas itu adalah salah satu dari emosi dasar manusia, sama seperti senang, marah, takut, sedih, dan perasaan jijik. Setiap emosi itu punya fungsi, termasuk cemas," kata Caca saat menjadi pembicara di Indonesia Summit 2025 di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Menurut Caca, cemas muncul sebagai reaksi terhadap sesuatu yang mungkin akan terjadi pada masa depan. la mencontohkan, saat seseorang ingin menyeberang jalan, rasa cemas dapat memunculkan kewaspadaan untuk melihat kanan dan kiri, memperhatikan lampu lalu lintas dan memastikan keselamatan.

"Kalau kita tidak punya rasa cemas, kita bisa saja menyeberang jalan tanpa melihat kondisi sekitar. Itu justru berbahaya. Jadi cemas sebenarnya adalah alarm yang penting," kata dia.

Sementara itu, menurut Caca, kecemasan baru dikategorikan sebagai gangguan ketika intensitasnya berlebihan, muncul terus-menerus, dan mengganggu fungsi sehari-hari baik secara fisik, emosional, maupun sosial.

"Kalau cemasnya sampai membuat seseorang tidak bisa tidur, susah konsentrasi, menarik diri dari lingkungan, atau bahkan tidak bisa menjalani aktivitas harian, itu baru perlu ditangani secara klinis," kata dia.

Dia mengingatkan masyarakat untuk tidak melakukan self-diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri hanya berdasarkan informasi dari internet atau pengalaman orang lain. Menurutnya, hal tersebut justru berisiko memperburuk kondisi dan menimbulkan kesalahpahaman terhadap kesehatan mental itu sendiri.

"Kalau kita bicara soal gangguan atau diagnosis, itu wilayah profesional. Jangan sampai kita menyimpulkan sendiri tanpa pemeriksaan yang tepat. Itu bahaya," kata dia.

la menganalogikan kondisi ini dengan penyakit fisik. "Misalnya kita sakit perut, lalu kita bilang ini maag, terus minum obat maag, padahal ternyata itu diare atau penyakit lain. Kan itu bisa fatal. Maka dari itu, kita disarankan untuk periksa ke dokter. Begitu juga dengan kesehatan mental, datanglah ke psikolog atau psikiater," ujar Саса.

la pun mengajak masyarakat untuk lebih terbuka dalam menerima dan mengelola emosi, termasuk rasa cemas. Emosi, kata Caca, bersifat sementara dan akan berlalu.

"Semua perasaan adalah teman kita. Kita bukan orang pemarah hanya karena sedang marah, dan kita bukan orang yang memiliki gangguan kecemasan hanya karena sedang merasa cemas. Emosi itu adalah bagian dari jadi manusia, dan itu tidak apa-apa," kata Caca.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement