Kamis 28 Aug 2025 09:48 WIB

Siswa Korea Selatan Dilarang Pakai Ponsel di Sekolah Mulai Maret 2026

Kecanduan media sosial di kalangan remaja Korsel dinilai berada pada level serius.

 Seorang guru dan siswanya saling menyapa di sebuah sekolah di Seoul, Korea Selatan (ilustrasi). Parlemen Korea Selatan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan ponsel dan perangkat digital lainnya di dalam kelas pada Rabu (27/8/2025).
Foto: YONHAP/YNA
Seorang guru dan siswanya saling menyapa di sebuah sekolah di Seoul, Korea Selatan (ilustrasi). Parlemen Korea Selatan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan ponsel dan perangkat digital lainnya di dalam kelas pada Rabu (27/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Parlemen Korea Selatan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan ponsel dan perangkat digital lainnya selama jam pelajaran di sekolah pada Rabu (27/8/2025). Aturan ini berlaku mulai Maret 2026.

Langkah ini diambil karena munculnya kekhawatiran yang mendalam dari berbagai pihak, mulai dari orang tua, guru, hingga politisi, tentang dampak buruk penggunaan gawai yang berlebihan pada generasi muda. Survei menunjukkan betapa masifnya penetrasi digital di negara itu.

Baca Juga

Dilansir laman South China Morning Post, menurut Pew Research Centre yang berbasis di Amerika Serikat (AS), 99 persen warga Korea Selatan terhubung ke internet, dan 98 persen di antaranya memiliki ponsel pintar. Ini merupakan angka tertinggi di antara 27 negara yang disurvei pada tahun 2022 dan 2023. Konektivitas yang luar biasa ini datang dengan konsekuensi serius. Sekitar 37 persen siswa sekolah menengah pertama dan atas mengakui bahwa media sosial memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, dan 22 persen merasa cemas jika tidak dapat mengakses akun mereka, sebuah temuan dari survei Kementerian Pendidikan Korea Selatan tahun lalu.

Salah satu penggagas RUU ini, Cho Jung-hun, seorang anggota parlemen dari Partai Kekuatan Rakyat, menggambarkan situasi ini dengan lugas. “Kecanduan media sosial di kalangan remaja kita berada pada level yang serius sekarang. Mata anak-anak kita merah setiap pagi. Mereka bermain Instagram sampai jam 2 atau 3 pagi," ujarnya di hadapan parlemen.

Ibu dari seorang remaja berusia 14 tahun di Seoul, Choi Eun-young, juga menyuarakan kekhawatirannya. "Ketika mereka pergi ke sekolah, mereka seharusnya belajar, tetapi juga membangun persahabatan dan mengambil bagian dalam berbagai kegiatan. Namun mereka tidak dapat fokus pada hal-hal itu. Bahkan ketika mereka mengobrol dengan teman-teman, mereka dengan cepat kembali ke ponsel mereka, dan ini secara alami mengganggu pembelajaran juga," ujarnya dikutip dari laman BBC.

Kim Sun, seorang ibu dari dua anak perempuan di sekolah dasar, menambahkan kekhawatiran tentang perundungan siber, di mana anak-anak melontarkan hinaan yang sangat kejam satu sama lain di media sosial. Meski demikian, larangan ini tidak luput dari kritik. Sebagian kelompok advokasi anak dan beberapa guru menentang RUU ini.

Cho Young-sun, seorang guru sekolah menengah, merasa bahwa RUU ini hanya menargetkan perangkat, bukan akar masalah yang sebenarnya, yaitu sistem pendidikan yang sangat kompetitif. Ia merujuk pada ujian masuk perguruan tinggi yang dikenal sebagai Suneung, sebuah ujian maraton selama delapan jam yang sering dianggap sebagai penentu masa depan para siswa.

"Dalam realitas saat ini, siswa tidak punya tempat untuk bertemu teman-teman di luar sekolah kecuali melalui KakaoTalk atau Instagram, dan mereka terus-menerus didorong ke dalam kompetisi di sekolah," ujar Cho Young-sun.

Seorang siswa SMA berusia 18 tahun, Seo Min-joon, yang vokal menentang larangan ini, berargumen bahwa mencabut ponsel saat jam pelajaran tidak akan banyak membantu. "Daripada hanya mengambil ponsel, saya pikir langkah pertama harusnya mengajarkan siswa apa yang bisa mereka lakukan tanpanya," kata dia.

Dia menyebut siswa akan tetap menggunakan ponsel saat bepergian atau di tempat tidur pada malam hari. "Tidak ada edukasi nyata tentang penggunaan yang sehat, hanya penyitaan," ujarnya.

Sebelum Korea Selatan, beberapa negara seperti Finlandia dan Prancis, menerapkan larangan dalam skala yang lebih kecil, yaitu hanya di sekolah-sekolah untuk anak-anak usia lebih muda. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari paparan dini terhadap konten digital yang tidak sesuai, serta mendorong interaksi sosial dan fokus belajar yang lebih baik di usia-usia krusial.

Sementara itu, negara-negara lain memilih untuk memberlakukan larangan yang lebih luas. Italia, Belanda, dan Cina misalnya, telah membatasi penggunaan ponsel di semua tingkatan sekolah. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ameera Network (@ameeranetwork)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement