REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah laporan terbaru mengungkap bahwa sebuah tas mewah Christian Dior yang dijual sekitar Rp 46 juta, diduga hanya menelan biaya produksi Rp 1 juta. Menurut keputusan pengadilan Italia, jenama mewah tersebut terbukti mengeksploitasi imigran ilegal asal China untuk memproduksi tas-tas tersebut dengan harga murah dan melabelinya sebagai “Made in Italy”.
Menurut Forbes, pengadilan Milan di Italia memerintahkan tindakan pencegahan administrasi yudisial terhadap Dior SRL, anak perusahaan Dior Italia, dan menunjuk administrator yudisial untuk mengawasi perusahaan tersebut selama satu tahun. Tindakan ini dilakukan karena adanya dugaan bahwa perusahaan tersebut mengizinkan dan mendorong eksploitasi tenaga kerja oleh subkontraktor China.
Putusan pengadilan setebal 34 halaman tersebut merinci kondisi tenaga kerja dari empat subkontraktor yang memproduksi tas Dior. Pabrik-pabrik ini sebagian besar mempekerjakan imigran ilegal dari China dan Filipina. Para pekerja harus tidur di bengkel karena pabrik-pabrik tersebut beroperasi 24 jam sehari tanpa hari libur. Alat pengaman juga dicopot dari mesin-mesin untuk mempercepat produksi.
Para subkontraktor, yang menghemat biaya produksi, menjual setiap tas ke Dior seharga 60 dolar AS atau sekitar Rp 1 juta. Tas-tas ini kemudian dijual di toko-toko Dior seharga 2.850 dolar AS atau sekitar Rp 46 juta. Pengadilan memutuskan bahwa unit bisnis Dior bertanggung jawab karena tidak memverifikasi kondisi kerja aktual atau kemampuan teknis para pemasok dan tidak melakukan audit secara teratur.
Investigasi pengadilan juga menuduh bahwa praktik manufaktur yang tidak etis seperti itu bersifat sistemik di seluruh Italia, di mana ribuan produsen kecil yang dimiliki oleh perusahaan asing memasok merek-merek mewah dengan barang-barang yang dapat mengeklaim label "Made in Italy" yang berharga, tetapi diproduksi dengan harga "Made in China".
“Ini bukan sesuatu yang sporadis yang menyangkut satu produk saja, tetapi merupakan metode manufaktur yang digeneralisasi dan terkonsolidasi. Karena merek fashion mewah berusaha menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi," kata pengajuan tersebut, seperti dilansir Forbes, Rabu (3/7/2024).
Otoritas investasi Italia telah memeriksa kondisi tenaga kerja subkontraktor untuk produsen barang-barang mewah selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan atas kekhawatiran bahwa perusahaan-perusahaan berbiaya rendah yang dioperasikan oleh Tiongkok merusak industri kulit tradisional Italia.
Italia diperkirakan menyumbang 50 hingga 55 persen dari produksi barang mewah global, sehingga Italia memiliki kepentingan besar dalam memberantas pelanggaran hak asasi manusia dan proses produksi yang tidak etis. Dior sendiri merupakan label fashion terbesar kedua LVMH setelah Louis Vuitton. Rumah mode dan produk kulitnya menghasilkan sekitar setengah dari total pendapatan LVMH sebesar 92,5 miliar dolar AS tahun lalu.
Menanggapi laporan ini, banyak di antara warganet yang tak menyangka dan kecewa tentang praktik produksi Christian Dior. Mereka pun menghujat merek tersebut di media sosial. “Harga tersebut hanya untuk membeli merek,” kata seorang warganet seperti dilansir dari Allkpop, Rabu (3/7/2024).
“Barang imitasi dari China dan yang original sama semua. Ini gila,” komentar warganet lainnya.
“Saya jadi bingung apakah sekarang ada barang mewah yang asli,” kata warganet lainnya.